SULTENG RAYA —Hasil riset World Competitiveness Ranking 2023, Indonesia menempati peringkat daya saing ke-34 dari total 64 negara di dunia, meningkat signifikan dari posisi ke-44 pada 2022.
Terkait pencapaian tersebut, Lembaga Management (LM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menggagas lima strategi prioritas memperkuat daya saing Indonesia di kancah global di masa depan.
Riset World Competitiveness Ranking 2023 tersebut dilakukan Institute for Management Development (IMD) Swiss dan LM FEB UI.
Pencapaian tersebut cukup memuaskan karena terjadi di tengah masa pemulihan ekonomi pascapandemi dengan tantangan ketidakpastian global. Adapun di tingkat Asia Pasifik, Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara, di atas Jepang, India, dan Filipina.
Terkait hal tersebut, Managing Director LM FEB UI Willem Makaliwe mengatakan pemeringkatan dihitung dengan proses yang sangat disiplin.
“Jadi bukan cuma kualitas teknis tapi juga berbagai pandangan stakeholders, terutama dari pelaku bisnis,” ujarnya dalam acara National Media Briefing Indonesia Competitiveness Ranking 2023, yang dilaksanakan, Rabu (2/8/2023).
Adapun lima strategi prioritas untuk diimplementasikan agar daya saing Indonesia di kancah global terus meningkat dan semakin kuat yang digagas LM FEB UI adalah pertama, mengawal reformasi pemerintahan secara persisten. Kedua, percepatan pengembangan ekonomi luar Jawa. Ketiga, menyempurnakan infrastruktur digital. Keempat, berkomitmen dalam transisi energi. Kelima, mendukung pengembangan tenaga kerja berkompetensi tinggi.
Dalam acara yang sama, Head of Consulting and Research LM FEB UI, Bayuadi Wibowo menjelaskan terkait lima poin prioritas tersebut. Menurutnya, pertama adalah reformasi struktural yang terkait tata kelola. Dalam hal ini, untuk meningkatkan daya saing tentunya harus memperbaiki birokrasi.
“Selain birokrasi juga tentu kita harus melihat ada indeks indikator yang masih lemah teruatama indeks korupsi. Pada 2015 masih 88 dibandingkan 168 negara. Tapi 2020 di atas 100 itu menunjukkan kita mengalami kemunduran jadi tentunya kalau perbaikan reformasi birokrasi, good governance, tata kelola dari pemerintahan itu bisa ditingkatkan itu akan memperbaiki citra dan memberikan kepastian hukum,” ujarnya menekankan.
Kedua adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama di luar Jawa. Sebab, saat ini distribusi ekonmi nasional sekitar 58 persen ada di Jawa, dan 22 persen di Sumatera. Ini menjadi berbahaya dalam jangka panjang jika hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi dari Jawa dan Sumatera saja. Menurutnya, akan menimbulkan ketimpangan terutama untuk masyarakat di luar Jawa dan Sumatera.
Ketiga adalah digitalisasi bukan hanya infrastruktur saja, tapi juga kompetensi terkait penguasaan teknologi. Keempat, terkait transisi energi saat ini penggunaan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia baru sekitar 12,3 persen. Padahal targetnya sekitar 23 persen dan kalau tidak bisa mempercepat transisi akan membebani APBN.
Terakhir, pada 2030 Indonesia akan mendapat bonus demografi yang artinya usia produktif lebih tinggi.
“Ini menjadi peluang dan masanya tidak lama sekitar 13 tahun. Tentunya tantangan ke depan adalah lepas dari middle income trap. Nah untuk lepas itu salah satunya dengan penguasaan teknologi dengan peningkatan pendidikan,” tuturnya.
Sementara itu, hasil penilaian World Competitiveness Ranking 2023 didasarkan pada analisis data kinerja perekonomian Indonesia sampai dengan 2022. Termasuk penilaian para pelaku usaha terkait persepsi kondisi lingkungan bisnis yang dihadapi.
Metode penilaian daya saing didasarkan pada 4 komponen yaitu pertama, kinerja perekonomian. Kedua, efisiensi pemerintahan. Ketiga, efisiensi bisnis. Keempat adalah infrastruktur. Kenaikan peringkat terlihat pada seluruh komponen yang dinilai. Komponen yang mengalami peningkatan paling tinggi adalah kinerja perekonomian dan efisiensi bisnis.
Di mana peringkat kinerja perekonomian mengalami kenaikan dari yang sebelumnya berada di posisi 42 pada 2022 menjadi 29 di 2023, atau naik sebesar 13 peringkat. Faktor yang menjadi kekuatan pada komponen ini meliputi pertumbuhan PDB, kestabilan harga BBM, serta pertumbuhan ekspor dan investasi. Sementara kelemahan pada komponen ini adalah menurunnya lapangan pekerjaan di Indonesia.
Sementara itu pada komponen efisiensi bisnis, Indonesia berada di peringkat 20 pada 2023. Naik dari peringkat 31 pada tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut terbilang tinggi dengan jumlah kenaikan 11 peringkat. Pada komponen ini, faktor yang menjadi kekuatan adalah pada pertumbuhan angkatan kerja, remunerasi profesional, tingkat produktivitas tenaga kerja, serta akses pada layanan keuangan. Seluruh sub-faktor pada komponen ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya.
Sedangkan efisiensi pemerintahan merupakan komponen dengan kenaikan peringkat yang tidak signifikan. Indonesia menempati peringkat ke-31 tahun ini, dari yang sebelumnya berada di posisi 35, atau hanya mengalami peningkatan sebesar 4 peringkat.
Pada komponen ini, faktor yang menjadi kekuatan meliputi efektivitas APBN, kemudahan prosedur memulai bisnis, serta rasio cadangan mata uang asing per kapita. Sementara kelemahannya adalah pada penerimaan pajak, distribusi pendapatan, serta ketidakstabilan situasi politik.
Di sisi lain infrastruktur adalah komponen dengan peningkatan peringkat yang paling rendah. Indonesia hanya berhasil naik 1 peringkat dari tahun 2022 yang berada di posisi ke-52. Faktor yang menjadi kekuatan adalah komponen biaya telekomunikasi seluler, rasio pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT), terjaganya jumlah paten yang dihasilkan, sebaran fasilitas layanan kesehatan, rasio pengguna komputer, serta efektivitas pengeluaran pada bidang kesehatan dan pendidikan
“Penilaiannya ada 2 metode. Dengan cara interview responden dipilih selektif dengan respon dunia usaha atas kondisi ekonomi negara masing-masing. Termasuk pascaCovid. Kemudian ada juga pertanyaan yang sifatnya sekunder, itu total-total ada sekitar 350 insiders. Dan dihitung, dan prosesnya memangnya disiplin,” tutup Willem. */RHT