Oleh: Temu Sutrisno

Manusia lahir dengan banyak potensi. Sejak awal, manusia dibekali akal budi, rasa, dan kehendak untuk tumbuh, berpikir, serta mencipta. Inovasi dan kreativitas menjadi penanda bahwa setiap anak manusia memiliki kecerdasan umum sekaligus keterampilan khusus. Dengan kecerdasan itulah manusia membangun peradaban, mencipta teknologi, dan merajut kehidupan sosial yang beragam.

Kemajuan teknologi sejatinya merupakan buah dari daya cipta manusia. Teknologi diciptakan untuk memudahkan hidup, memperluas pengetahuan, dan mempercepat pertukaran gagasan. Namun, pada titik tertentu, teknologi justru berbalik arah. Alih-alih membebaskan, ia perlahan mengungkung manusia dalam batas-batas sempit yang tak kasatmata. Salah satu bentuk pengungkungan itu hadir dalam fenomena yang kini akrab kita kenal, echo chamber.

Di era digital, terutama dengan maraknya media sosial, publik semakin mudah terperangkap dalam ruang gema. Kita hidup di tengah banjir informasi, tetapi ironisnya justru makin sempit dalam sudut pandang. Algoritma bekerja di balik layar, mengatur apa yang kita lihat, baca, dan dengar. Algoritma memanjakan preferensi kita, menyodorkan konten yang sejalan dengan selera, keyakinan, dan pandangan kita sendiri. Akibatnya, kita seolah hidup di dunia yang selalu membenarkan diri kita.

Fenomena echo chamber terjadi ketika seseorang hanya terpapar pada informasi, opini, dan sudut pandang yang sama atau serupa dengan keyakinannya. Pendapat yang berbeda tidak hilang sepenuhnya, tetapi tersisih, tenggelam, atau sengaja dihindari. Media sosial dengan algoritmanya mempercepat proses ini. Setiap klik, suka, dan bagikan menjadi sinyal bagi sistem untuk menyajikan lebih banyak konten sejenis. Perlahan tapi pasti, ruang dialog menyempit, digantikan ruang gema yang berisik namun miskin perbedaan.

Dalam konteks ini, istilah filter bubble menjadi relevan. Algoritma media sosial menciptakan gelembung informasi yang personal dan eksklusif. Kita merasa mendapat banyak informasi, padahal sebenarnya hanya mengulang-ulang narasi yang sama. Perspektif lain jarang muncul, atau jika muncul, sering kali ditampilkan dalam bentuk yang terdistorsi dan negatif. Akibatnya, kita bukan hanya kehilangan kesempatan untuk memahami orang lain, tetapi juga kehilangan kemampuan untuk menguji keyakinan sendiri secara kritis.

Dampak dari echo chamber tidak bisa dianggap remeh. Fanatisme mudah tumbuh subur ketika seseorang terus-menerus diyakinkan bahwa pandangannya paling benar. Perbedaan dianggap ancaman, bukan kekayaan. Diskusi berubah menjadi perdebatan emosional, bahkan permusuhan. Di ruang digital, hal ini tampak dalam komentar yang kasar, pelabelan, dan penolakan mentah-mentah terhadap pandangan yang berbeda.