Oleh: FERY
(Ketua Pengurus Cabang Muhammadiyah Tatanga)
DALAM menentukan awal bulan hijriyah hingga saat ini, masih terus menjadi perdebatan. Meskipun tahun ini, para penganut Hisab maupun Rukyat di Indonesia memiliki kesamaan pandang dalam menentukan awal Ramadhan 1446 Hijriyah.
Dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 185 berbunyi Faman Syahida Mingkumu Syahro Falyasumhu yang artinya “Barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.”
Begitu pun Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya “Berpuasalah kalian dengan melihat hilal dan berbukalah (Lebaran) dengan melihat hilal. Bila ia tidak tampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari”.
Dua dasar hukum itupula yang menjadikan penentuan awal bulan, khususnya bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Dua-duanya pula jadi dasar hukum bagi para ahli, baik yang menggunakan hitungan astronomi (hisab) maupun melihat langsung (rukyat) yang juga tentu menggunakan alat berupa teropong.
Di zaman Nabi Muhammad SAW, orang-orang melihat bulan tidak menggunakan teropong, tidak pula menggunakan hitungan astronomi. Itu karena pada masa tersebut, era belum secanggih saat ini. Dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda yang artinya “Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (memberi isyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (memberi isyarat dengan bilangan 30),”
Hadist ini, cukup jelas bahwa Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan pentingnya hisab di masa mendatang (masa kini) untuk menentukan awal bulan-bulan hijriyah, tetapi di masa itu, tentu Rasullulah SAW memahami keterbatasan, sehingga kedepan (saat ini) masa sudah canggih, maka hisab menjadi penting diterapkan, agar terjadi keseragaman dalam menentukan jumlah hari pada bulan-bulan hijriyah, bisa 29 hari atau 30 hari.
Di era modern saat ini, semua harus mengikuti perkembangan zaman. Bagi yang menggunakan alat optik seperti teropong maupun dengan penghitungan astronomi, tidak ada yang salah, karena semuanya menggunakan dasar hukum yang sama yakni menyaksikan hilal.
Sehingga penentuan awal Ramadhan, awal Syawal, maupun awal Dzulhijjah, tidak perlu lagi dipertentangkan, karena itu ranah keyakinan. Para penganut Hisab (penghitungan astronomi) maupun penganut rakyat (melihat bulan secara langsung atau pakai teropong), tahun ini sepakat menetapkan 1 Ramadhan 1446 hijriyah jatuh pada hari Sabtu tanggal 1 Maret 2025. Meskipun orang-orang yang ingin melaksanakan shalat tarawih harus menunggu keputusan pemerintah melalui sidang isbath.
Namun untuk penetapan 1 Syawal 1446 Hijriyah maupun 1 Dzulhijjah 1446 Hijriyah, bagi penganut Hisab telah menetapkan bahwa 1 Syawal 1446 Hijriyah jatuh pada tanggal 31 Maret 2025 Miladiyah. Dan 1 Dzulhijjah 1446 Hijriyah jatuh pada hari Rabu tanggal 28 Mei 2025 Miladiyah.
Namun kita semua yakin bahwa jika penghitungan astronomi (hisab) digunakan, maka dipastikan tidak lagi membutuhkan teropong untuk melihat bulan secara langsung. Tidak lagi membutuhkan sidang Isbath, sehingga dapat menerapkan efisiensi anggaran. Cukup menetapkan kriteria saja. Misalnya kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunai Indonesia Malaysia Singapura), atau kriteria wujudul hilal hisab hakiki ala Muhammadiyah.
Bisa juga menggunakan Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT) yang saat ini mulai disosilalisasikan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Metode KHGT pun menggunakan imkanur rukyat dengan kriteria tertentu, tetapi menggunakan Matlak Global. Berbeda dengan Wujudul Hilal Hisab Hakiki yang saat ini masih digunakan oleh Muhammadiyah, masih menggunakan Matlak Lokal. Begitu pula Kriteria Imkanur Rukyat ala MABIMS yang juga menggunakan Matlak lokal.
Kita semua umat Islam, berharap terjadi keseragaman dalam menghitung hari-hari dalam bulan Hijriyah, terutama pada bulan-bulan yang memiliki ibadah, seperti Ramadhan dengan Ibadah Puasa, Syawal dengan Idul Fitri, dan Dzulhijjah dengan ibadah wukuf dan Idul Adha.
Jika KHGT diberlakukan secara global, maka umat Islam dunia akan seragam dalam menjalankan ibadah-ibadah dalam bulan hijriyah tersebut, seperti Ibadah Puasa, Idul Fitri, dan ibadah Haji (wukuf dan idul adha). Termasuk puasa sunnah tanggal 13, 14, dan 15 pada bulan-bulan hijriyah atau dikenal dengan puasa Ayyamul Bidh.
Saat ini, Indonesia maupun Arab Saudi masih cenderung menggunakan metode rukyat dengan matlak lokal. Namun dua negara ini juga berbeda dalam kriteria menentukan visibility hilal, karena Indonesia menggunakan Imkanur Rukyat dengan kriteria ala MABIMS dan saat memantau hilal lebih cenderung menggunakan alat optik seperti teropong daripada melihat dengan mata telanjang langsung.
Sementara Arab Saudi murni menggunakan metode rukyat atau melihat langsung dengan mata telanjang maupun juga terkadang harus menggunakan alat bantu optik seperti teropong. Arab Saudi tidak menetapkan kriteria apapun selain bulan terlihat atau tidak terlihat. Tetapi hal itu, sesungguhnya bukan hal yang perlu dipertentangkan lagi, karena hal yang paling utama bagi umat Islam adalah berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Karena saat ini, banyak orang tidak berpuasa akibat tekanan dunia.***