Di tengah ketidakpastian ini, tekanan bukan hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam rumah. Tak sedikit anggota PPS yang mulai mendapat pertanyaan dari keluarga, terutama istri, tentang kapan honor tersebut cair. “Sudah dibayar atau belum?” adalah pertanyaan yang semakin sering terdengar, bahkan dengan nada curiga. Ada yang sampai harus meyakinkan istrinya berulang kali bahwa uang itu memang benar-benar belum diterima, bukan disembunyikan atau digunakan diam-diam. Situasi ini menciptakan ketegangan rumah tangga yang seharusnya tidak perlu terjadi. Honor yang semestinya menjadi penopang ekonomi keluarga setelah masa kerja yang penuh pengorbanan, justru menjadi sumber salah paham dan tekanan emosional. Ini menunjukkan bahwa keterlambatan pembayaran bukan hanya berdampak pada aspek finansial, tetapi juga menggerus ketenangan psikologis para PPS dan keluarganya.
KPU Kabupaten Sigi harus sadar bahwa masalah ini bukan hanya soal anggaran. Ini soal kepercayaan. Jika lembaga penyelenggara pemilu tidak bisa menyelesaikan kewajiban kepada petugasnya sendiri, bagaimana masyarakat bisa percaya kepada hasil-hasil pilkada yang mereka umumkan?
Sudah saatnya ada pernyataan resmi dan tindakan konkret. Tidak cukup hanya mengatakan “sedang dalam proses.” Harus ada tenggat waktu yang jelas. Harus ada evaluasi internal. Demokrasi tidak bisa dibangun dengan mengabaikan mereka yang bekerja di bawah. Kita tidak bisa hanya menyanjung hasil pilkada sebagai kemenangan rakyat jika proses di baliknya diwarnai pengabaian terhadap hak-hak dasar petugas PPS.
Saat ini, yang dibutuhkan bukan lagi janji, tapi tindakan nyata. KPU Kabupaten Sigi harus segera merealisasikan pembayaran honor tersebut tanpa alasan tambahan. Jika benar kita menghargai demokrasi, maka sudah seharusnya kita mulai dari hal yang paling sederhana yakni menepati janji.*