PPS bukan relawan. Mereka adalah bagian dari sistem penyelenggara pilkada yang sah dan dijamin haknya oleh negara. Penundaan pembayaran honor selama ini bukan hanya mencederai hak-hak individu, tetapi juga merusak kepercayaan terhadap integritas KPU sebagai lembaga.
Realitas ini menyakitkan, terlebih bila kita melihat ironi yang terjadi secara terang-terangan. Para kepala daerah hasil Pilkada 2024 sudah dilantik. Anggota DPRD di berbagai tingkatan sudah resmi duduk di kursi kekuasaan. Mereka tak hanya mengemban amanah rakyat, tetapi juga telah menerima hak-hak finansialnya: gaji, tunjangan, dan berbagai insentif lainnya. Sebuah kelaziman dalam sistem ketatanegaraan.
Namun bagaimana dengan para PPS, yang bekerja keras dan menjadi garda terdepan dalam proses pilkada di tingkat desa dan kelurahan? Mereka yang mengawal kotak suara, merekap hasil suara, memastikan proses pemungutan berjalan sesuai aturan, dan bahkan tak jarang harus menghadapi berbagai tantangan keamanan dan logistik di lapangan justru harus menunggu berbulan-bulan untuk menerima haknya. Hak dasar yang seharusnya tak perlu dipertaruhkan dalam tarik-menarik birokrasi.
Ini bukan sekadar soal uang. Ini tentang penghormatan terhadap kerja keras. Tentang penghargaan terhadap komitmen demokrasi yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat di akar rumput. Ketika para penyelenggara di lapisan terbawah justru dianaktirikan, lalu siapa lagi yang akan percaya bahwa negara serius dalam membangun demokrasi yang sehat?
Sikap diam atau saling lempar tanggung jawab di internal KPU Sigi bukan solusi. Justru memperpanjang penderitaan para PPS yang sebagian besar berasal dari kalangan masyarakat biasa. Tidak sedikit di antara mereka yang kini harus menanggung beban ekonomi, karena berharap kepada honor yang tak kunjung turun. Mereka sudah mengorbankan waktu, tenaga, dan bahkan keamanan pribadi untuk menjalankan tugas negara. Tapi negara, melalui lembaganya yang disebut “independen,” justru menunda membayar keringat mereka.