Lembaga penyelenggara pemilu, adalah lembaga yang secara mandiri melaksanakan kontestasi pemilu maupun pilkada. Secara konstitusional kita bisa lihat, dalam kententuan Undang-undang dasar 1945, Pasal 22 E ayat 5, yang menyebutkan bahwa: “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Artinya, KPU lah yang diberi mandat konstitusional untuk melaksanakan seluruh tahapan kontestasi secara bebas dan adil (free and fair).
Sementara, Bawaslu bertugas melakukan pengawasan dan koreksi terhadap proses dan mekanisme kontestasi. Tentu, ini tantangan, Khususnya KPU, sebagai satu-satunya lembaga yang diberi mandat menghitung suara rakyat, dan mengkonversinya menjadi jabatan. Memuliakan suara rakyat adalah tugas utama penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu). Itu sebabnya, pelanggaran terhadap mark-up suara rakyat, adalah dosa paling besar seorang penyelenggara pemilu. Bahkan, saya menyebut dosa melakukan Mark-up suara rakyat, setara dengan “dosa syirik dalam konteks islam”.
Makanya, seorang penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), “tak boleh punya keluarga dan teman”, agar dia tak punya syahwat menggadaikan integritas. Penyelenggara pemilu, juga tak boleh punya kepentingan, tentang siapa pemenang kontestasi. Dia hanya punya kepentingan memastikan seluruh proses dan mekanisme berjalan dalam napas undang-undang. Oleh sebab itu, menghitung satu suara di TPS, satu suara Di pleno KPU, adalah tanggung jawab penyelenggara pemilu memastikan kemuliaan suara rakyat tetap terjaga dalam Proses kontestasi.**