Salah satu faktor yang dapat menyebabkan peningkatan potensi penyebaran tuberkulosis secara luas adalah kegagalan dalam pengobatan tuberkulosis. Kegagalan pengobatan TB umumnya disebabkan oleh kurangnya ketaatan pasien TB dalam mengkonsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT).  Kegagalan dan ketidakpatuhan pasien tuberkulosis dalam melakukan pengobatan menjadi salah satu penyebab terjadinya Multidrug-Resistant TB (MDR-TB). Secara internasional, Indonesia menduduki peringkat kedelapan di antara 27 negara dengan jumlah kasus Multidrug-Resistant TB (MDR-TB) tertinggi di seluruh dunia. Pada tahun 2023, secara global terdapat 175.923 orang yang didiagnosis dan dirawat karena resistensi multiobat atau resistensi rifampisin. Angka keberhasilan pengobatan TB yang rentan terhadap obat masih tinggi (88%) dan telah meningkat menjadi 68% untuk TB-MDR  (WHO 2024).

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah melaporkan berdasarkan survei prevalensi yang dilakukan pada tahun 2013 menunjukkan bahwa diperkirakan 2,8% dari kasus TB Baru dan 16% dari kasus TB pengobatan ulang akan mengalami resisten obat TBC. Angka Keberhasilan pengobatan TBC Resisten Obat di Sulawesi Tengah tahun 2015 sampai dengan tahun 2023 belum mencapai target yaitu <75%, sedangkan angka kesembuhan TB-MDR menurut WHO di seluruh dunia <60%. Keberhasilan pengobatan TBC RO dibanding TBC Sensitif Obat lebih rendah. Ini merupakan dampak dari masa pengobatan yang panjang (11 s.d 24 bulan), jumlah obat yang harus diminum, serta efek samping obat. Ini menjadi tantangan dalam Program Pengendalian TBC untuk dapat mengupayakan semua pasien TBC RO yang diobati dapat menyelesaikan pengobatan sampai tuntas. (Dinkes Sulteng, 2023).