Oleh: Syahril Rahman
(Sekretaris Wilayah Perhimpunan Remaja Masjid Dewan Masjid Indonesia – PRIMA DMI)
Ramadan adalah bulan kesembilan dalam kalendar Hijriah Islam. Ia dianggap sebagai bulan paling suci dalam setahun bagi umat Islam di seluruh dunia. Bulan ini adalah masa untuk beribadah, refleksi diri, dan pertumbuhan rohani. Salah satu amalan utama yang dilakukan semasa bulan Ramadan ialah puasa. Puasa bermakna menahan diri daripada makan, minum, dan hubungan intim dari subuh hingga matahari terbenam. Umat Islam yang sehat dan baligh diwajibkan berpuasa semasa bulan Ramadan.
Puasa bukan hanya tentang menahan diri daripada makanan dan minuman. Ia juga merupakan masa untuk meningkatkan kesedaran rohani, belas kasihan, dan empati. Dengan berpuasa, umat Islam berusaha untuk membersihkan jiwa mereka, mendekatkan diri kepada Tuhan, dan menumpukan perhatian pada pertumbuhan rohani mereka.
Selain berpuasa, umat Islam juga digalakkan untuk meningkatkan amalan mereka yang lain semasa bulan Ramadan. Ini termasuk solat, membaca al-Quran, memberi sedekah, dan melakukan perbuatan baik. Bulan Ramadan mempunyai kepentingan yang besar bagi umat Islam. Ia adalah masa untuk perpaduan, komuniti, dan refleksi diri. Ia juga merupakan masa untuk memperbaharui komitmen seseorang terhadap iman mereka dan berusaha untuk menjadi individu yang lebih baik.
Puasa Ramadan memiliki signifikansi yang mendalam dalam kehidupan umat Islam, mencakup aspek spiritual, psikologis, dan kesehatan. Ibadah ini bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang meningkatkan ketakwaan, membersihkan diri, dan memperkuat hubungan dengan Allah dan sesama manusia.
Puasa bukan hanya praktik dalam satu agama, tetapi ditemukan dalam berbagai tradisi keagamaan di seluruh dunia. Ini menunjukkan bahwa menahan diri dari kebutuhan fisik memiliki makna spiritual yang mendalam bagi manusia. Secara psikologis, puasa dapat meningkatkan kesadaran diri dan pengendalian diri, yang merupakan aspek penting dalam perkembangan spiritual. Dari sudut pandang sosiologis, praktik puasa seringkali memperkuat ikatan komunitas dan identitas keagamaan.
Di tengah masyarakat yang semakin individualistik, puasa dapat menjadi pengingat akan pentingnya solidaritas dan kebersamaan. Dalam era konsumerisme, puasa mengajarkan kesederhanaan dan pengendalian diri, yang relevan dengan isu-isu keberlanjutan. Dalam konteks global, puasa dapat menjadi simbol persatuan dan perdamaian, karena dipraktikkan oleh jutaan orang dari berbagai latar belakang.
Puasa Ramadan dan Penempaan Religiusitas
Ramadan merupakan madrasah spiritual yang dirancang untuk menempa religiusitas umat Muslim. Melalui pendekatan multidisiplin, kita dapat memahami bagaimana puasa Ramadan berkontribusi pada peningkatan kesadaran dan praktik keagamaan sebagai tindakan spiritual manusia. Sebagaimana pandangan Buya Syafii Maarif, unsur utama religiusitas etik yang dibidik adalah tindakan spiritual manusia dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Dalam konteks Ramadan, hal ini tercermin dalam:
- Peningkatan Kesadaran Diri: Puasa melatih pengendalian diri, menahan hawa nafsu, dan meningkatkan introspeksi, yang mengarah pada kesadaran diri yang lebih mendalam.
- Penguatan Praktik Keagamaan: Ramadan mendorong peningkatan ibadah seperti shalat tarawih, tadarus Al-Qur’an, dan sedekah, yang memperkuat praktik keagamaan.
- Peningkatan Empati dan Solidaritas: Puasa menumbuhkan rasa empati terhadap mereka yang kurang mampu, mendorong tindakan solidaritas sosial seperti berbagi makanan dan zakat fitrah.
- Pembersihan Spiritual: Ramadan memberikan kesempatan untuk membersihkan diri dari dosa dan kesalahan, serta memperbarui komitmen terhadap nilai-nilai agama.
Dengan demikian, Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang transformasi spiritual yang mendalam, yang mencakup peningkatan kesadaran, praktik keagamaan, dan tindakan etis.
Selain sebagai bentuk ketaatan, puasa juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam yang diakui oleh umat Muslim di seluruh dunia. Dalam konteks keislaman, puasa dianggap sebagai cara untuk membersihkan jiwa, memperkuat keimanan, dan meningkatkan kesadaran akan keberadaan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Puasa juga memainkan peran penting dalam kehidupan seorang Muslim sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas spiritual, fisik, dan mental.
Imam Al-gazali berpandangan bahwa melalui puasa, seorang Muslim dilatih untuk menahan hawa nafsu, mengendalikan emosi, dan memperbaiki akhlak. Sebagai salah satu ibadah yang melibatkan pengorbanan fisik, Al-Qardhawi menyebut puasa juga menuntut kesabaran dan kedisiplinan yang dapat membawa dampak positif bagi perilaku sehari-hari.
Pembentukan karakter religius adalah proses panjang dan berkelanjutan yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai agama dalam diri seseorang sehingga tercermin dalam sikap, perilaku, dan kehidupannya sehari-hari. Karakter religius merujuk pada kualitas individu yang mencerminkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Ini melibatkan aspek kognitif (pengetahuan agama), afektif (perasaan keagamaan), dan psikomotorik (perilaku keagamaan).
Puasa Ramadan dan Pembangunan Etika Sosial
Puasa Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga memiliki dimensi etika sosial yang sangat kuat. Bulan Ramadan adalah momen yang tepat untuk membangun dan memperkuat etika sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Secara psikologis, puasa melatih pengendalian diri (self-control) yang kuat. Kemampuan menahan lapar, haus, dan hawa nafsu lainnya memperkuat disiplin dan kesabaran. Pengalaman menahan lapar dan haus menumbuhkan empati terhadap mereka yang kurang beruntung, sehingga mendorong tindakan sosial seperti berbagi dan memberi (zakat, infak, sedekah).
Ramadan sering diisi dengan kegiatan keagamaan bersama (salat berjamaah, buka puasa bersama, ceramah agama) yang memperkuat interaksi sosial dan rasa kebersamaan. Kegiatan-kegiatan ini meningkatkan kesadaran akan pentingnya gotong royong, toleransi, dan saling menghormati dalam masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa praktik keagamaan seperti puasa dapat mengurangi perilaku agresif dan meningkatkan perilaku prososial (perilaku yang menguntungkan orang lain). Nilai-nilai etika yang ditanamkan selama Ramadan (kejujuran, kesabaran, pengendalian diri) dapat terbawa dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari setelah Ramadan.
Ramadan adalah madrasah yang tepat untuk merenungkan perilaku dan memperbaiki diri. Refleksi ini meningkatkan kesadaran kita akan dampak tindakan kita terhadap orang lain. Puasa mengingatkan kita akan tanggung jawab sosial kita sebagai bagian dari masyarakat. Kesadaran ini mendorong kita untuk berkontribusi positif dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik. Kemudian latihan-latihan ini memiliki dampak positif yang signifikan dalam membangun etika sosial yang kokoh.
Puasa, atau shaum, mendidik kita untuk menanamkan kebajikan dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari. Kebajikan adalah perwujudan dari refleksi mendalam seorang hamba terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Nilai-nilai kebajikan ini merupakan salah satu fondasi utama kehadiran Islam di muka bumi, menjadikannya “rahmatan lil alamin” atau rahmat bagi seluruh alam semesta.
Dalam perspektif etika sosial, umat Islam diharapkan menjadi “agen perubahan” yang terus-menerus berupaya menjadi “insan berbudi luhur” di tengah masyarakat. Dengan demikian, keberadaan mereka di lingkungan sekitar akan membawa manfaat nyata melalui perilaku-perilaku mulia seperti berzakat, berderma, bersedekah, bersikap adil, dan membangun hubungan yang harmonis dengan sesama.
Idealisme kebajikan terwujud saat menyaksikan kemiskinan merajalela. Pada saat itulah, hati nurani tergerak, memicu empati yang mendalam. Dengan segenap akal dan jiwa, upaya pembebasan (liberasi) dilakukan secara sungguh-sungguh. Mereka yang berpuasa dengan pemahaman akal dan kepekaan hati akan memaknai kehidupan sebagai wahana untuk melaksanakan amal saleh, berbuat kebajikan, dan menyebarkannya demi kebahagiaan sesama.
Puasa di bulan Ramadan, tentu saja, mengajarkan pentingnya membina relasi yang harmonis dan membebaskan. Dengan demikian, kebahagiaan yang kita rasakan dapat menjadi milik bersama. Al-Quran menjelaskan, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin,” (QS. Al-Ma’un [107]: 1-3).
Ketika seseorang berinteraksi dengan warga yang kurang mampu, lalu berupaya meringankan beban kemiskinan mereka, saat itulah ia telah mengamalkan ajaran kebajikan yang terkandung dalam Islam. Kebajikan yang diberikan kepada sesama manusia ini dikenal sebagai kebajikan sosial, yang merupakan pilar utama dalam mewujudkan masyarakat sejahtera.
Dalam kehidupan sehari-hari, ketika kebajikan sosial diwujudkan, kebahagiaan tidak hanya dirasakan saat kita memperoleh apa yang diimpikan dan diinginkan, atau mencapai target pribadi (kebajikan individual). Lebih dari itu, kebahagiaan harus merangkul lingkungan sosial, di mana kebahagiaan dan senyum kita terpancar saat melihat orang lain turut berbahagia, atau ketika kita mampu secara optimal membantu orang lain mengatasi kesedihan dan kesulitan hidup mereka. Inilah tingkat kebajikan tertinggi yang dihasilkan dari ibadah puasa di bulan Ramadan. Wallahualam Bissawab ***