Dalam lanskap budaya kontemporer yang didominasi oleh nilai-nilai materialisme dan konsumerisme, Suluk Ramadan hadir sebagai sebuah counter-narrative yang kuat. Praktik puasa dan pengendalian diri selama sebulan penuh merupakan bentuk resistensi kultural yang efektif terhadap hegemoni budaya konsumtif. Lebih dari sekadar pembatasan fisik, puasa Ramadan mengajarkan sebuah filosofi hidup yang berbeda – satu yang menekankan kesederhanaan, keberlanjutan, dan keseimbangan spiritual di atas kepuasan material semata.
Aspek sosial-ekonomi dari Suluk Ramadan termanifestasi dalam sistem redistribusi kekayaan melalui zakat, sedekah, dan berbagai bentuk filantropi Islam lainnya. Sistem ini tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme pemerataan ekonomi, tetapi juga sebagai sarana pembentukan kesadaran sosial dan solidaritas komunal. Melalui praktik berbagi dan memberi, Suluk Ramadan membangun sebuah model ekonomi alternatif yang berbasis pada prinsip-prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.