Pada masa penjajahan Belanda, sistem pendidikan di Indonesia dikelompokkan berdasarkan status sosial dan latar belakang etnis. Pendidikan bagi rakyat biasa sangat terbatas, sementara pendidikan formal lebih banyak diberikan kepada kalangan elit atau mereka yang bekerja untuk pemerintah kolonial. Selain itu, sekolah-sekolah agama seperti pesantren juga berkembang sebagai alternatif pendidikan bagi umat Islam yang kurang mendapatkan akses pendidikan formal.
Problem Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia membangun sistem pendidikan nasional yang terpisah dari sistem pendidikan agama. Sistem pendidikan umum dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara pendidikan agama seperti pesantren dan madrasah berada di bawah Kementerian Agama.
Hal ini menimbulkan dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Seiring dengan kemajuan zaman, pendidikan formal (sekolah umum) dipandang lebih modern dan terstruktur, dengan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan nasional. Di sisi lain, pendidikan non-formal atau pendidikan berbasis agama, seperti pesantren, sering dianggap lebih tradisional.
Hal ini menyebabkan adanya persepsi bahwa pendidikan agama kurang relevan dibandingkan pendidikan formal, meskipun lembaga-lembaga pendidikan agama telah melakukan berbagai reformasi agar lebih adaptif terhadap perkembangan zaman.
Di era reformasi, ada upaya untuk menyatukan dan mengintegrasikan sistem pendidikan di Indonesia, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama. Kurikulum di madrasah mulai memasukkan mata pelajaran umum, sementara sekolah-sekolah umum mulai membuka pelajaran agama lebih luas. Pemerintah juga mendorong pendekatan inklusif dalam pendidikan agar tidak ada dikotomi yang tajam antara pendidikan agama dan umum.
Dikotomi pendidikan ini juga mencerminkan perbedaan akses dan kualitas. Sekolah umum di perkotaan cenderung lebih memiliki akses ke sumber daya pendidikan yang lebih baik, sementara banyak sekolah agama dan pendidikan non-formal di pedesaan menghadapi keterbatasan fasilitas dan kualitas pengajaran. Ini menciptakan ketimpangan dalam kualitas pendidikan di seluruh negeri.
Pandangan dikotomi, secara langsung maupun tidak langsung akan melahirkan kebijakan yang dikotomi. Kebijakan dikotomi bisa juga kita artikan sebagai kebijakan yang diskriminatif. Di Indonesia kebijakan dikotomi dalam pendidikan tergambar jelas pada sistem pendidikan nasional yang bersifat dualistik. Dimana pendidikan agama seperti MI, MTs, MA dan segala bentuk pendidikan madrasah diatur oleh Kemenag.
Sedangkan pendidikan umum seperti SD, SMP, SMA dan Universitas umum, mereka semua berada dibawah pengawasan Kemendiknas. Sebenarnya jika dualisme di atas hanyalah sebuah pembagian tugas saja, maka tidak menjadi masalah. Tetapi jika dualisme tersebut diikuti dengan sikap diskriminasi terhadap pendidikan agama maka hal ini sudah masuk pada ranah dikotomi pendidikan.
Faktanya, dualisme sistem pendidikan ini, seolah justru menjadi payung hukum yang sah dalam melaksanakan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan dikotomis.
Dikotomi pendidikan di Indonesia membawa berbagai Dampak,berupa ketimpangan di lingkungan pendidikan, sebagai berikut : (Pertama) Ketimpangan Kualitas Pendidikan, Dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama (seperti madrasah dan pesantren) menciptakan perbedaan kualitas pendidikan.
Sekolah-sekolah umum di perkotaan umumnya memiliki akses yang lebih baik terhadap sumber daya pendidikan seperti guru berkualitas, fasilitas, dan teknologi. Sementara itu, banyak lembaga pendidikan agama di pedesaan atau wilayah terpencil sering kali memiliki keterbatasan fasilitas, infrastruktur, dan tenaga pengajar. Ini menyebabkan ketimpangan pendidikan yang berdampak pada kesiapan siswa dalam menghadapi persaingan di dunia kerja.
(Kedua)Perbedaan Kompetensi Lulusan, Dikotomi ini juga berdampak pada perbedaan kompetensi lulusan antara sekolah umum dan madrasah atau pesantren. Sekolah umum umumnya lebih fokus pada keterampilan akademik dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja modern, sementara sekolah agama lebih menekankan pada aspek moral, spiritual, dan pengetahuan agama. Akibatnya, lulusan dari kedua jenis pendidikan ini sering kali memiliki profil kompetensi yang berbeda, yang dapat mempengaruhi peluang karier dan mobilitas sosial mereka.
(Ketiga) Pemisahan Identitas Sosial,Dikotomi pendidikan di Indonesia juga memperkuat pemisahan identitas sosial antara mereka yang berpendidikan umum dan yang berpendidikan agama. Siswa dari sekolah umum cenderung memiliki pandangan yang lebih sekuler, sementara siswa dari madrasah atau pesantren memiliki latar belakang yang lebih religius. Hal ini bisa memperkuat segregasi sosial dan mempengaruhi kohesi sosial dalam masyarakat, terutama dalam isu-isu yang berkaitan dengan agama, budaya, dan politik.
(Keempat) Tantangan dalam Pembangunan SDM,Pemerintah berusaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk menghadapi tantangan globalisasi dan persaingan global. Namun, dikotomi pendidikan ini bisa menjadi penghambat jika lulusan dari pendidikan agama tidak memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri modern. Di sisi lain, lulusan dari pendidikan umum mungkin kurang dalam pemahaman spiritual dan moral, yang juga penting dalam membentuk SDM yang berintegritas.
(Kelima) Kesempatan dan Akses yang Tidak Merata, Dikotomi pendidikan memperbesar kesenjangan dalam akses terhadap pendidikan berkualitas, terutama bagi masyarakat yang secara tradisional lebih memilih pendidikan agama. Karena sekolah agama sering berada di daerah pedesaan atau wilayah terpencil, siswa di daerah tersebut mungkin tidak mendapatkan akses yang sama terhadap teknologi atau pengetahuan yang dibutuhkan untuk bersaing di era digital.
(Keenam) Upaya Integrasi dan Reformasi Di sisi positif, dikotomi ini juga mendorong adanya upaya integrasi kurikulum antara pendidikan umum dan agama. Pemerintah telah mencoba untuk meredakan perbedaan ini dengan menyusun kebijakan yang mengintegrasikan kurikulum umum di madrasah, dan sebaliknya, memberikan ruang bagi pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Hal ini bertujuan agar lulusan dari kedua sistem pendidikan tersebut memiliki kompetensi yang seimbang antara pengetahuan agama dan keterampilan modern.
(Ketuju) Stigma Sosial ,Ada juga stigma atau stereotip yang melekat pada lulusan dari kedua sistem pendidikan ini. Lulusan madrasah atau pesantren sering kali dianggap kurang kompeten dalam hal pengetahuan sains dan teknologi, sementara lulusan sekolah umum kadang dianggap kurang memiliki pemahaman agama yang mendalam. Stigma ini bisa mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap peluang kerja dan status sosial lulusan dari kedua sistem pendidikan tersebut.
(Kedelapan) Konflik Ideologis dan Nilai, Dikotomi ini juga berpotensi menimbulkan konflik ideologis dalam masyarakat, terutama dalam konteks perdebatan antara nilai-nilai tradisional agama dan nilai-nilai modernisasi sekuler. Perbedaan ini dapat mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap isu-isu sosial, politik, dan kebudayaan, serta membentuk sikap terhadap pendidikan dan perubahan sosial di masa depan.
Dikotomi pendidikan Islam di Indonesia mengungkap berbagai dinamika yang muncul dalam konteks sejarah, sosial, dan kebijakan pendidikan. Berikut beberapa temuan utama terkait dikotomi pendidikan Islam di Indonesia. Kemudian dalam hasil temuan mengenai dikotomi pendidikan di Indonesia menyoroti berbagai aspek perbedaan antara pendidikan umum dan pendidikan agama, serta antara sekolah negeri dan swasta.
Salah satu temuan ( pertama) perbedaan kurikulum antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Sekolah umum di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memiliki fokus yang kuat pada mata pelajaran umum seperti matematika, sains, bahasa, dan teknologi, sementara madrasah dan pesantren yang dikelola oleh Kementerian Agama lebih banyak menekankan pada pendidikan agama, seperti fiqh, Al-Qur’an, dan akhlak.
Upaya integrasi kurikulum telah dilakukan dengan memasukkan mata pelajaran umum di madrasah, tetapi masih terdapat perbedaan dalam penekanan antara kedua jenis pendidikan ini. Lulusan dari sekolah umum sering kali memiliki kompetensi yang lebih kuat dalam mata pelajaran akademik, sementara lulusan madrasah memiliki pengetahuan agama yang lebih mendalam.
Temuan (kedua) menunjukkan adanya perbedaan kualitas fasilitas dan sumber daya antara sekolah negeri, sekolah swasta, dan madrasah. Sekolah-sekolah negeri, terutama di daerah perkotaan, sering kali memiliki fasilitas yang memadai, meskipun ada banyak sekolah negeri di pedesaan yang mengalami keterbatasan.
Di sisi lain, sekolah swasta elit biasanya dilengkapi dengan fasilitas modern dan guru-guru yang berkualitas lebih tinggi, tetapi biayanya jauh lebih mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Sementara itu, banyak madrasah, terutama di daerah pedesaan, masih menghadapi keterbatasan dalam hal infrastruktur dan sumber daya pendidikan. Beberapa madrasah dan pesantren memiliki fasilitas yang kurang memadai, seperti laboratorium sains atau akses teknologi yang terbatas, yang berdampak pada kemampuan siswa untuk belajar dengan maksimal.
(Ketiga) Dikotomi pendidikan di Indonesia juga terkait dengan aksesibilitas, terutama bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu. Sekolah negeri umumnya lebih terjangkau dan menjadi pilihan utama bagi keluarga berpenghasilan rendah, sementara sekolah swasta yang menawarkan kualitas lebih baik sering kali hanya dapat diakses oleh kalangan menengah ke atas. Ini menyebabkan perbedaan dalam kesempatan pendidikan yang diperoleh oleh siswa dari latar belakang ekonomi yang berbeda.
Di sisi lain, madrasah sering kali menjadi pilihan utama bagi keluarga yang lebih fokus pada pendidikan agama. Namun, madrasah juga cenderung menjadi pilihan bagi kelompok yang memiliki keterbatasan ekonomi, karena biaya pendidikan di madrasah biasanya lebih rendah dibandingkan sekolah swasta.
(Keempat )Temuan ini juga menyoroti adanya perbedaan kompetensi lulusan antara sekolah umum, swasta, dan madrasah. Lulusan sekolah umum biasanya lebih siap menghadapi dunia kerja yang membutuhkan keterampilan teknis dan akademik, terutama di sektor-sektor yang lebih modern.
Di sisi lain, lulusan madrasah dan pesantren memiliki kompetensi yang kuat dalam bidang keagamaan, tetapi sering kali dianggap kurang memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri dan teknologi.Sekolah swasta, terutama yang elit, sering kali menghasilkan lulusan dengan kualitas akademik yang lebih tinggi dan kompetensi global, karena banyak dari sekolah-sekolah ini yang menerapkan kurikulum internasional atau bilingual. Ini menciptakan perbedaan peluang antara lulusan sekolah swasta dan negeri dalam mengakses pendidikan tinggi dan dunia kerja.
(Kelima) Temuan lain menunjukkan adanya stigma sosial yang melekat pada lulusan dari jenis sekolah tertentu. Misalnya, lulusan madrasah atau pesantren sering kali dianggap kurang memiliki pengetahuan umum yang memadai dan kurang siap untuk berkompetisi di dunia kerja yang lebih sekuler.
Di sisi lain, lulusan sekolah umum atau swasta kadang-kadang dianggap kurang memiliki pemahaman agama yang kuat.Stigma ini bisa mempengaruhi kesempatan kerja dan status sosial para lulusan, karena perusahaan atau lembaga pendidikan tinggi cenderung lebih memilih lulusan dari sekolah-sekolah yang dianggap memiliki reputasi lebih baik.
(keenam ) Upaya integrasi antara pendidikan umum dan agama telah dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan. Salah satu temuan penting adalah penerapan kurikulum nasional di madrasah, yang memungkinkan siswa madrasah untuk mendapatkan pendidikan umum yang setara dengan siswa sekolah negeri. Selain itu, ada juga program madrasah aliyah kejuruan yang mulai memperkenalkan keterampilan vokasional agar siswa madrasah lebih siap memasuki dunia kerja.
Namun, meskipun sudah ada integrasi kurikulum, masih terdapat perbedaan besar dalam pelaksanaannya di lapangan, terutama dalam hal fasilitas dan kualitas tenaga pengajaran.
(Ketuju) temuan utama dalam dikotomi pendidikan di Indonesia adalah adanya dualisme dalam pengelolaan pendidikan. Pendidikan umum berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara pendidikan agama di bawah Kementerian Agama.
Dualisme ini menyebabkan perbedaan dalam hal kebijakan, penganggaran, dan pengawasan. Sekolah umum dan madrasah memiliki jalur manajemen yang berbeda, yang sering kali menimbulkan kesenjangan dalam kualitas dan pemerataan pendidikan.
(Kedelapan) Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan anggaran untuk pendidikan baik untuk sekolah negeri maupun swasta, serta madrasah. Namun, temuan menunjukkan bahwa masih ada ketidakmerataan dalam distribusi anggaran.
Sekolah negeri, terutama yang berada di kota-kota besar, cenderung lebih mudah mendapatkan bantuan infrastruktur dan program pendidikan. Sementara itu, madrasah dan pesantren di daerah terpencil sering kali masih mengalami kesulitan mendapatkan anggaran yang memadai, yang berdampak pada kualitas pengajaran..**