Keputusan untuk mengusung Pasangan Calon atas nama Anwar Hafid dan Renny Lamadjido (AH-RL) membuat konstalasi politik di mengalami babak baru.

Pasangan AH-RL akhirnya bisa bernapas lega setelah PKS menjatuhkan pilihannya. Sebuah keputusan yang diambil oleh PKS guna membuka keran Demokrasi lokal berjalan lancar. Keputusan PKS telah membuat menjadi lebih menggembirakan.

Jika sebelumnya, Pasangan Ahmad Ali dan Abdul Karim Aljufri (AA-AKA) yang menjadi satu-satunya Paslon memastikan diri maju di Pilgub Sulteng, maka kali ini, Pasangan AA-AKA telah memiliki lawan seimbang, setelah PKS menjatuhkan pilihan ke Pasangan AH-RL.

Dengan demikian, tertutup sudah harapan bagi Pasangan lain yang berminat menggunakan perahu PKS. Sakinah Aljufri yang disebut-sebut akan maju sebagai bakal calon wakil gubernur, harus menghentikan langkah dan taat kepada keputusan Partainya.

Sebagai kader PKS, tentu Sakinah Aljufri harus patuh dengan ketetapan partai dan akan ikut memberikan andil dalam memenangkan pasangan AH-RL pada Pilgub Sulteng mendatang.

Seruan Presiden PKS Ahmad Syaikhu saat menyerahkan surat keputusan dukungan kepada AH-RL cukup tegas, agar seluruh kader PKS di Sulteng wajib memenangkan Pasangan yang diusung PKS tersebut.

Keputusan PKS ini telah memberikan titik terang bahwa, kemungkinan besar hanya terdapat tiga pasangan calon yang akan bertarung di Pilgub Sulteng mendatang.

Saat ini, publik Sulawesi Tengah masih menanti keputusan Partai Golkar dan , apakah akan berkoalisi untuk  mendukung Irwan Lapatta, Hidayat Lamakarate, atau Petahana Rusdy Mastura. Semua masih berdinamika.

Yang pasti bahwa pasangan AA-AKA dan pasangan AH-RL sudah siap turun ke gelanggang, sudah siap mendayung, karena telah memastikan perahu masing-masing.

Kedua paslon ini telah memenuhi syarat pencalonan, karena telah mengantongi lebih dari 11 kursi yang dipersyaratkan oleh aturan perundangan-undangan.

Paslon AA-AKA yang sementara ini dipastikan akan diusung oleh Gerindra, PAN, dan Nasdem telah mengantongi 17 Kursi. Sedangkan Paslon AH-RL juga sementara ini diusung oleh , PBB, dan PKS telah mengantongi 14 Kursi. Sementara partai lainnya masih mengambil ancang-ancang untuk bergabung ke Paslon AA-AKA atau Paslon AH-RL.

Hal menarik yang dinantikan publik adalah jika akhirnya Golkar dan PDIP memilih untuk bergabung dengan salah satu pasangan tersebut, maka Pilgub Sulteng akan semakin hangat dengan Head to Head antara dua putra Wosu yakni Ahmad Ali dan Anwar Hafid.

Namun demikian, keberadaan pasangan ketiga menjadi penting bagi tumbuhnya demokrasi di Sulawesi Tengah, karena akan semakin memberikan ruang yang terbuka bagi pemilih untuk memilih secara cerdas.

Dalam teori ilmu Politik dan kebijakan publik, relasi antara demokrasi dan representasi masih menjadi perhatian yang sulit dipisahkan, walaupun konsep demokrasi dan representasi yang dikembangkan oleh Thomas Hoobes dan Hana Pitkin terkadang bertolak belakang dan berbenturan satu sama lain.

Klaim utama dari teori demokrasi adalah demokratisasi secara alami membuat kepentingan dan aspirasi warga yang diwakili diintegrasikan ke dalam kebijakan publik.

Dalam kontestasi Pilgub Sulteng, representasi wilayah masih menjadi ukuran publik dalam berdemokrasi, meskipun bukan menjadi penentu utama dalam memenangkan kontestasi.

Pasangan AH-RL yang hampir dipastikan akan ikut bertarung setelah adanya keputusan PKS ini, dinilai merepresentasikan dua wilayah besar di Sulteng yakni bagian timur yang direpresentasikan oleh sosok Anwar Hafid dan bagian barat disematkan ke sosok Renny Lamadjido.

Maka itulah,  potensi pasangan yang bakal diusung oleh Demokrat, PKS, dan PBB ini, terbuka lebar untuk menjadi  pemenang Pilgub Sulteng.

Namun demikian, pasangan AA-AKA juga memiliki potensi kemenangan, karena kesan keseriusan dan ketulusan Ahmad Ali untuk mengabdi di Sulteng memiliki daya tarik pemilih untuk menjatuhkan pilihannya. Belum lagi, Abdul Karim Aljufri dinilai sebagai representasi anak muda, seperti halnya Gibran Rakabuming Raka yang berhasil menjadi magnet generasi muda untuk menjatuhkan pilihannya.

Kehadiran paslon ketiga juga akan menambah khasanah kegembiraan demokrasi di Sulawesi Tengah, tentu publik menunggu keputusan Golkar dan PDIP, yang masih menunggu hasil survey internal.

Jika Golkar dan PDIP menjatuhkan pilihan pada pasangan Petahana Rusdy Mastura dan Ma’mun Amir, tentu juga akan melihat pertimbangan representasi wilayah.

Begitu juga jika pasangan Irwan Lapatta dengan Sri Indriani Lalusu atau pasangan Hidayat Lamakarate dengan Sri Indriani Lalusu, juga akan melihat representasi wilayah besar di bumi Tadulako ini.

Berdasarkan pengalaman Pilgub Sulteng, maka faktor Demokrasi Representasi kewilayahan ini, tentu tetap memberikan efek terhadap keterpilihan atau kemenangan pasangan calon, meskipun dalam catatan sejarah, bukan menjadi penentu utama.

Contohnya, kemenangan pasangan HB. Paliudju dan Achmad Yahya pada Pilgub 2006 menjadi bukti bahwa demokrasi representasi kewilayahan, tidak memberi efek besar atas kemenangan pasangan calon. Padahal saat itu, ada pasangan Rully Lamadjido dan Sudarto yang merepresentasikan wilayah barat dan timur di provinsi Sulteng. Namun hanya mampu bertahan di urutan kedua. Lawan lainnya adalah Paslon petahana Aminudin Ponulele dan Sahabuddin Mustafa yang berada di urutan ketiga.

Namun demikian, pada Pilgub 2011, 2016, dan 2020, pasangan yang terpilih terlihat merepresentasikan dua wilayah besar di Sulteng yakni Longki Djanggola direpresentasikan mewakili wilayah barat dan Sudarto mewakili wilayah timur. Pasangan Longki dan Sudarto berhasil dua kali memenangkan Pilgub Sulteng.

Sementara Pilgub Sulteng 2020, pasangan Rusdy Mastura dan Ma’mun Amir yang menjadi pemenangnya juga dinilai merepresentasikan dua wilayah yakni Rusdy Mastura mewakili wilayah barat dan Ma’mun Amir mewakili wilayah timur.

Bagaimana pun juga faktor representasi kewilayahan ini tetap menjadi perhatian parpol maupun Paslon.

Representasi politik seperti ini, secara sederhana telah diilustrasikan oleh Hana Pitkin, ilmuwan politik pelopor studi tentang relasi antara konstituen dan politikus kontemporer, sebagai “acting in the best interest of the public” (1967).

Pitkin pula yang mengangkat ambiguitas relasi antara konstituen dan wakil politik akibat dari apa yang ia bahasakan sebagai ‘presence but absence’ dalam pengambilan keputusan politik.

Sejalan dengan pandangan ini, studi yang dilakukan oleh Puskapol (2013) melihat representasi politik, relasi antara pejabat publik terpilih dengan konstituen, kerap dijumpai dalam ikatan yang samar-samar, ambigu dan tidak jarang kontradiktif.

Namun Luki Djani memiliki pandangan berbeda. Dia berargumen bahwa representasi politik terbentuk dari relasi dan interaksi antara konstituen dan politikus secara timbal balik dalam kurun waktu tertentu, karenanya membentuk ikatan yang tidak hanya bertumpu pada relasi formalistik saja.

Bahkan Kristian Stokke dan Elin Selboe (2009) juga mengkritik pemahaman Pitkin terhadap representasi yang cenderung statis dan bertumpu pada konstituen dimana identitas dan kepentingan yang direpresentasikan oleh wakil politik dianggap terbentuk secara obyektif berdasarkan persepsi konstituen.

Maka itulah, apabila calon gubernur dan calon wagub ingin memenangkan pilgub Sulteng, mereka harus paham dengan medan dan mengetahui strategi terbaik yang harus dilakukan. Tidak sekadar demokrasi representasi kewilayahan yang bersifat formalistik saja.

Sulawesi Tengah memiliki dua wilayah besar yakni timur dan barat, serta memiliki ragam suku bangsa, sehingga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sulteng harus mampu menyatukan perbedaan dan batasan batasan kesukuan dan geografis tersebut, sehingga dapat terwujud Pilkada Sulteng yang adem, bersatu, serta utuh dalam mencapai tujuan bersama menghasilkan pemimpin yang amanah dan berintegritas.(*)

Penulis adalah Dosen / Wakil Ketua Sulteng.