SULTENG RAYA – Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulawesi Tengah (Sulteng) menetapkan AT (31) selaku Direktur Utama (Dirut) PT. GPS dan S (46) selaku Komisaris Utama PT. GPS sebagai tersangka kasus pertambangan nikel ilegal atau Pertambangan Tanpa Izin (PETI), yang lokasi operasionalnya berada di Desa Towara, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara (Morut).

Kabidhumas Polda Sulteng, Kombes Pol. Djoko Wienartono didampingi Dirreskrimsus Kombes Pol. Bagus Setiawan dihadapan para jurnalis di Polda Sulteng, Selasa (4/6/2024) menjelaskan, penindakan PT. GPS dilakukan setelah sebelumnya tim Ditreskrimsus Polda Sulteng bersama PT. Bukit Makmur Istindo Nikeltama (PT. Bumanik) menduga operasional PT. GPS tidak memiliki izin.

“Penindakan PT. GPS dilakukan tim Ditreskrimsus Polda Sulteng dua kali yang dilakukan pada tanggal 7 Februari 2024 dan penindakan kedua tanggal 25 Maret 2024 di Desa Towara, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. PT. GPS diduga dalam melakukan kegiatan pertambangan Nikel berada di dalam area wilayah kawasan hutan dan wilayah Ijin Usaha Produksi (IUP) PT. Bumanik,” kata Djoko Wienartono.

Lanjut Djoko menjelaskan, dalam penindakan PETI oleh PT.GPS tanggal 7 Februari 2024, telah disita 17 unit alat berat Excavator, 99 tumpukan material ore Nikel, dokumen pertambangan dan surat keterangan tanah (SKT). Sedangkan, untuk penindakan tanggal 25 Maret 2024, penyidik telah menyita 6 unit alat berat excavator, 2 unit dump truck roda 10 dan 12 dome atau tumpukan ore nikel.

“Setelah melakukan pemeriksaan puluhan saksi, ahli, penyidik telah menetapkan AT (31) Direktur Utama PT. GPS dan S (46) Komisaris Utama PT. GPS sebagai tersangka,” tegas Kabidhumas.

Untuk diketahui sebut Djoko, atas perbuatan tersangka negara mengalami kerugian kurang lebih Rp5 Miliar.

“Mereka diduga telah melakukan tindak pidana penambangan tanpa ijin sebagaimana pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara, dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1,5 Miliar dan paling banyak Rp10 Miliar,” jelasnya.

Selain itu kata Djoko, tersangka juga dijerat pasal 89 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, dengan pidana singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1,5 Miliar dan paling banyak Rp10 Miliar.

DUA WNA DITAHAN POLDA SULTENG KARENA PETI

Sepak terjang dua Warga Negara Asing (WNA) melakukan kegiatan pertambangan tanpa ijin di dalam Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) juga dihentikan Tim Subdit Tipidter Ditreskrimsus Polda Sulteng. Kepolisian mendapati keduanya melakukan aktivitas pertambangan di wilayah Vatutela Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu pada tanggal 20 Mei 2024 lalu.

“Pelaku inisial LJ (62) warga negara China, pekerjaan teknisi dan inisial ZX (62) warga negara China, pekerjaan teknisi laboratorium, keduanya beralamat di Hunan, China,” kata Kabidhumas Polda Sulteng, Kombes Pol. Djoko Wienartono didampingi Dirreskrimsus Kombes Pol. Bagus Setiyawan dihadapan jurnalis di Polda Sulteng, Selasa (4/6/2024).

Saat dilakukan penindakan, Polisi juga menyita 3 unit alat berat excavator, 20 buah tong plastik, 4 unit mesin alkon, 3 batang pipa paralon, 1 set alat uji sample, 2 buah jerigen kapasitas 30 liter berisi bahan kimia hidrolik acid 32 persen dan hydrogen peroksida, dan lain-lain.

Tersangka jelas Kabidhumas, diduga melakukan tindak pidana penambangan tanpa ijin yaitu setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan atau pemurnian, pengembangan dan atau pemanfaatan, pengangkutan, penjualan mineral dan atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau ijin berupa material batu/pasir yang mengandung emas.

Sementara, atas perbuatan kedua tersangka, negara telah dirugikan dari kegiatan pertambangan tanpa izin dengan nominal kurang lebih Rp11 Miliar. Tersangka dijerat dengan pasal 158 dan 161 Undang-Undang RI Nomor 3 tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara, dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 Miliar.*/YAT