Penulis: Shopiah Syafaatunnisa / Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Baru-baru ini, kasus perundungan di sekolah Binus School Serpong sungguh mengernyitkan kening dan mengejutkan banyak pihak. Sekolah elite dengan jumlah murid yang sedikit, secara teori seharusnya dapat mengontrol dan memantau peserta didik jauh lebih baik dan efektif dari sekolah rata-rata. Akan tetapi, dengan adanya kasus perundungan ini menjadi sebuah peringatan bahwa celah kejahatan bisa terjadi di mana saja, di sekolah yang bagus sekalipun.
Tak hanya itu, dapat dipastikan anak-anak yang disekolahkan di sana mayoritas berasal dari kalangan terpelajar. Dengan kata lain, perundungan yang terjadi di sekolah pada umumnya seringkali motifnya dikaitkan karena pola asuh dari keluarganya sendiri yang minim pendidikan maupun material. Lantas, mengapa anak yang dibesarkan dengan ditopang lembaga berkualitas sekaligus background keluarga berpendidikan tetap dapat terjadi perundungan? Berikut poin-poin yang dirasa penting untuk dikaji.
Cara Pandang
Hendaknya kasus ini tidak digeneralisasi, satu kasus pencemaran nama baik, bukan berarti menghilangkan sisi baik dan unggul dari sekolah tersebut yang tentu sangatlah banyak. Semestinya masyarakat tidak mendiskreditkan sekolah yang sudah memberjalankan program-program pendidikan yang berkualitas. Ibarat pencuri masuk ke rumah, bukan berarti rumahnya harus dibakar, tapi pencurinya yang harus ditangani. Seperti itulah semestinya paradigma masyarakat.
Sebagus apapun sekolah, bukan berarti terbebas dari celah pelanggaran. Dan hendaknya sekolah bersangkutan tetap melaksanakan peran dan tanggung jawabnya tanpa merasa hilang wibawa. Karena marwah yang sesungguhnya adalah saat kebijakan dan langkah yang diambil sekolah dapat memaslahatkan seluruh pihak dan menangani sebuah kasus dengan penuh tanggung jawab.
Pendidikan Karakter
Baik pihak keluarga maupun sekolah, ada peran-peran krusial yang harus dipastikan tertanam dan melekat pada diri setiap anak sebagai upaya preventif.
Pertama, mencegah karakter superior. Pola asuh orang tua yang tidak memanjakan sangatlah penting. Mengajarkan anaknya meras kecewa sejak dini akan sangat berpengaruh pada karakternya di masa mendatang. Begitupun teknik memuji anak agar anak tidak melekatkan karakter superior dalam diri anak. Guru pun berperan penting menguatkan pencegahan karakter superior dengan cara memahamkan anak akan tercelanya sifat merasa hebat dan sombong.
Kedua, membekali mental yang kuat dan keberanian. Sejak dini, hendaknya anak tidak dibiarkan menjadi pribadi suka mengalah. Adakalanya anak harus diajarkan untuk tegas membela apa yang menjadi haknya. Anak harus ditanamkan harga diri, bekal ini penting agar kelak tidak menjadi korban perundungan.
Ketiga, mengajarkan pentingnya damai dan memaafkan. Di sinilah peran penting orang tua dan guru untuk mengajarkan cara mengkerdilkan ego anak agar bisa legowo memaafkan orang yang menyakitinya.
Sekalipun anak diajarkan untuk membela diri dan menjadi pribadi tangguh, dalam situasi apapun memaafkan adalah perbuatan mulia yang harus dipahamkan pada anak melalui sentuhan agama dan spiritual.
Keempat, mengedukasi apabila melihat gelagat perundungan. Baik orang tua maupun guru, sebaiknya tidak cuek bebek, apalagi menormalisasi gelagat yang dicurigai dapat berlanjut pada perundungan. Guyonan atau candaan tidak selamanya dalam batas wajar, maka di sinilah diperlukan kepekaan sebagai upaya pencegahan. Paling tidak, bereaksi dan menunjukan bahwa hal itu tidak benar dapat menjadi rem pengingat bagi anak yang mungkin saja merasa apa yang dilakukannya tidak salah.
Kelima, memahamkan bahaya bullying. Guru di sekolah misalnya dapat menggunakan momentum mengajarnya dengan menggambarkan apa itu bullying dan bahayanya dengan harapan dapat meneguhkan dan melekat ke dalam ingatan anak agar senantiasa menjauhi perilaku tersebut.
Tantangan Digital
Tayangan televisi yang tidak mendidik sangat mungkin menjadi referensi anak melakukan bullying. Belum lagi akses gadget seperti media sosial yang tanpa pengawasan yang baik dari orang tuanya, sangat mungkin anak terinspirasi untuk melakukan kejahatan dari apa yang ditontonnya.
Oleh karena itulah, penggunaan media digital perlu diawasi. Dalam hal ini, peran orang tua sangat penting karena usia anak belum mampu menyeleksi mana yang benar dan salah. Belum lagi faktor lingkungan yang mungkin sangat menunjang perilaku labil anak.
Dengan adanya kasus ini, besar harapan seluruh pihak agar saling berintrospeksi. Apakah orang tua dengan pola asuhnya, atau sekolah dengan eksistensi berupa peraturan dan perannya, apakah masyarakat dengan kepekaan dan kepeduliannya, hingga pemerintah dengan mengevaluasi efektivitas regulasi yang sudah diikhtiarkannya. Karena pada akhirnya, kasus ini merupakan tanggung jawab bersama yang harus ditangani secara serius guna memutus mata rantai bullying agar tidak berkepanjangan.***(Sumber: Gotimes)