Penulis :  Muhamad Ikbal Thola, S.Si., M.Si /

Analis Kebijakan Ahli Muda – Pusjar SKMP LAN Makassar

Indonesia masih terus berjuang dalam membangun perekonomian nasional. Sejak awal tahun 2025, perekonomian dihadapkan pada berbagai tantangan berat, salah satunya tercermin dari nilai tukar rupiah yang mengalami tekanan signifikan—dari Rp16.315 per dolar AS pada 15 Januari 2025 menjadi Rp16.860 per dolar AS pada 8 April 2025.

Tekanan ekonomi Indonesia akibat pelemahan nilai tukar rupiah dipicu oleh kombinasi faktor eksternal dan internal. Dari sisi eksternal, kebijakan perdagangan Amerika Serikat menjadi faktor signifikan yang memengaruhi. Sejumlah pakar menyebut kebijakan tersebut sebagai pemicu munculnya era “perang dagang” di tingkat global, yang pada akhirnya turut berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Dalam merespons dinamika perekonomian global, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah-langkah antisipatif melalui sejumlah kebijakan strategis. Pertama, melakukan penyesuaian terhadap regulasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) agar lebih realistis dan fleksibel. Kedua, menghapus ketentuan kuota impor yang sebelumnya membatasi volume impor dalam periode tertentu. Ketiga, menurunkan tarif bea masuk atas barang impor dari Amerika Serikat, dari semula 5–10% menjadi 0–5%, serta menurunkan tarif PPh Pasal 22 atas impor.

Menurut sejumlah pakar ekonomi di Indonesia, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam merespons kondisi ekonomi global dinilai hanya mampu memberikan solusi jangka pendek. Oleh karena itu, Indonesia perlu merumuskan strategi jangka panjang guna menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan, serta tidak terlalu bergantung pada dinamika ekonomi global. Pemerintah sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 8% pada tahun 2029.