Oleh: Muhd Nur SANGADJI
(Akademisi Universitas Tadulako)
Di bulan ramadan inilah ibadah umat Islam penuh perhatian tentang waktu. Beredar kian kemari brosur bertuliskan jadwal waktu ibadah termasuk saat berbuka dan sahur.
Pokoknya, waktu selalu menjadi patokan dan perhatian. Kita akan terus bertanya. Hari ini, buka puasa atau imsak jam berapa ? Begitulah kira-kira perhatian kita pada waktu.
Dalam hidup sehari-hari, ketepatan waktu menjadi indikator kualitas individu. Lalu berkembang menjadi kualitas satu bangsa. Silahkan periksa semua negara maju. Pasti, rakyatnya sangat disiplin. Terutama soal waktu.
Ternyata, disiplin waktu itu adalah satu hal yang paling serius dalam agama. Tuhan sendiri yang men”declare” dalam sumpahnya. “Demi waktu. Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi”. Jadi, manusia yang tidak merugi itu adalah mereka yang memperhatikan waktu. Dalam perbuatan kebaikan dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.
Tapi faktanya, banyak yang abai. Pada bangsa yang maju. Disiplin waktu menjadi etos dan budaya. Tahun 2004 saya ikut dalam satu program pemberdayaan masyarakat bersama JICA (Japan Internasional Coorporation Agency). Kami keliling Negeri Sakura itu selama satu bulan. Satu waktu di kota Tokyo. Rombongan terlambat beranjak lantaran saya datang terlambat.
Ria Yamada, sahabat sekaligus “guide” dalam perjalanan itu, menegur. Beliau bicara Inggris campur Indonesia dalam logat Jepang. “Nur, kenapa you come late..?” Saya juga jawab pake bahasa campuran. “So sorry, saya terlambat because I have to take monay before. Dan karena many people also take monay..so why I come late.
Dengan sedikit kecewa dan marah. Ria berkata, kamu harus berpikir bahwa pasti akan ada banyak orang antri ambil uang. Jadi, ‘you have to take it yesterday”. Dia lanjutkan, “you are now in Japan. You are not in Indonesia”. “Here, if 5 minuate late, you kill half people of Japan. And, half minuate late, you already kill all peopled of Japan”. Saya hanya menunduk malu.
Rombongan bergerak menuju kereta api bawah tanah (Metro). Saya pikir teguran Ria Yamada sudah selesai. Ternyata belum. Dia sambung. “Nur, I have been living in Indonesia for some years. And I know one of the bad character of Indonesia people is diligen to produce the raison”. (Salah satu karakter buruk orang Indonesia adalah pandai sekali menciptakan alasan). Bagian yang ini saya sengaja menerjemahkannya untuk memberikan efek pelajaran yang lebih luas.
Saya terus tertunduk sambil merenung. Jangankan Lima sampai tiga puluh menit. Terlambat di tempat kita itu, bisa sampai berjam-jam. Bayangkan, dengan memakai analogi yang dibuat Ria Yamada ini. Sudah berapa manusia di sekian negara yang telah kita bunuh, lantaran terlambat ?
Di stadion kereta api di bawah tanah inilah, saya meyakini analogi yang dibuat Ria. Di dalam tanah, orang Jepang beraktivitas seperti semut. Kereta api bergerak berseliweran kian kemari. Ada yang kecepatannya setengah dari pesawat terbang. Nama keretanya, Shinkansen, setara dengan TGV (train grand vitase) milik Perancis.
Saya bertanya dalam hati. Bagaimana kalau individu pengatur pergerakan kereta ini bermental terlambat dan ceroboh ? Berapa kecelakaan yang terjadi pada kecepatan kereta antara 300 sd 500 km per jam tersebut ? Baru saya sadar, mengapa kereta api kita sering tabrakan ? Padahal, kecepatannya hanya sekitar 150 km per jam. Kemudian saya jawab sendiri secara kelakar. Juga dalam hati. Itulah Indonesia ! Semoga Ibadah puasa kita, bisa berefek ke sini. Supaya puasa ini tidak sia-sia, sekedar menahan lapar dan dahaga semata. Wallahu a’lam bi syawab.. *