Selain itu, sistem pengawasan yang belum optimal juga berkontribusi terhadap merosotnya integritas. Banyak lembaga pengawas yang tidak independen, lemah dalam kapasitas, atau bahkan tersandera kepentingan politik. Akibatnya, pelanggaran yang terjadi tidak segera terdeteksi atau dibiarkan begitu saja tanpa sanksi yang setimpal. Padahal, keberadaan sistem pengawasan yang efektif merupakan kunci untuk mendorong perilaku yang sesuai dengan nilai integritas.
Namun akar terdalam dari krisis integritas justru terletak pada dunia pendidikan kita. Sistem pendidikan nasional belum sepenuhnya menempatkan pendidikan karakter sebagai prioritas utama. Sekolah dan perguruan tinggi lebih menekankan aspek kognitif daripada pembentukan sikap dan perilaku. Pendidikan kejujuran, tanggung jawab, dan etika masih bersifat formalitas. Akibatnya, banyak lulusan yang cerdas secara intelektual, tetapi rentan tergelincir secara moral.
Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang dilakukan oleh KPK menemukan bahwa 30% Guru dan Dosen serta serta 18% pimpinan satuan pendidikan mewajarkan gratifikasi dari siswa maupun mahasiswa. Praktik memberikan hadiah kepada guru di hari raya atau momen kenaikan kelas dinilai lumrah untuk mendapatkan nilai bagus agar lulus. KPK menyatakan praktik tersebut diberikan oleh peserta didik maupun orang tua terhadap guru dan dosen agar siswa mendapatkan nilai bagus dan bisa lulus.
Pendidikan seharusnya menjadi benteng utama dalam membentuk manusia yang berintegritas. Sejak usia dini, anak-anak perlu dikenalkan pada nilai-nilai dasar seperti kejujuran, disiplin, empati, dan tanggung jawab sosial. Guru harus menjadi teladan, bukan sekadar pengajar. Lingkungan sekolah harus menciptakan budaya yang menumbuhkan sikap jujur, bukan malah membiarkan perilaku curang atau manipulatif tumbuh. Dunia pendidikan harus menjadi ladang subur bagi tumbuhnya generasi bermoral, bukan sekadar berprestasi akademik.
Pemerintah memang telah merancang berbagai program penguatan integritas seperti Zona Integritas (ZI), Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), hingga pendidikan antikorupsi. Namun pelaksanaan program-program tersebut masih cenderung bersifat seremonial dan administratif. Belum ada transformasi mendalam dalam pola pikir dan budaya kerja aparatur negara. Integritas belum menjadi “roh” dari pelayanan publik, melainkan sekadar formalitas.