Bencana, adalah kerusakan yang timbul pada pola pola kehidupan normal yang berdampak negatif bagi kehidupan manusia, struktur sosial, serta munculnya kebutuhan masyarakat  (Heru  Sri  Haryanto,  2003).  Menurut  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia  (KBBI), bencana adalah sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian atau penderitaan.

Bencana tidak hanya menimbulkan korban meninggal dan luka serta rusaknya berbagai fasilitas  umum,  baik fasilitas kesehatan maupun fasilitas  pendidikan,  tetapi juga berdampak pada permasalahan kesehatan masyarakat, seperti munculnya berbagai penyakit, fasilitas air bersih dan sanitasi lingkungan yang kurang baik, trauma kejiwaan serta akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan pasangan.

Bencana   menimbulkan   dampak   terhadap   menurunnya   kualitas   hidup   penduduk, termasuk kesehatan. Salah satu permasalahan yang dihadapi setelah terjadi bencana adalah pelayanan   kesehatan   terhadap   korban   bencana.   Untuk   penanganan   kesehatan   korban bencana,  berbagai  piranti  legal  (peraturan,  standar  operasional)  harus  dikeluarkan.  Salah satunya  adalah  peraturan  yang  menyebutkan  peran  penting  Puskesmas  dalam penanggulangan   bencana   (Departemen   Kesehatan   RI,   2007;   Direktorat   Jenderal   Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, 2006; Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan, 2001).

Ketika bencana terjadi, banyak korban jiwa yang membutuhkan  pertolongan  secepat mungkin.  Selama  ini  system  penanganan  bencana  lebih  prioritaskan  pada  pasca  bencana dibandingkan dengan lebih memperhatikan pra bencana dalam hal ini penguatan daerah dalam pengurangan risisko krisis kesehatan akibat bencana.

Pemerintah  Indonesia  telah  mengeluarkan  Undang-Undang  (UU)  No 24 tahun  2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dengan lahirnya UU ini, terjadi perubahan paradigm penanganan bencana di Indonesia, yaitu penanganan  bencana tidak lagi menekankan pada aspek  tanggap  darurat,  tetapi  lebih  menekankan  pada  keseluruhan  manajemen penanggulangan bencana mulai dari mitigasi, kesiap siagaan, tanggap darurat sampai dengan rehabilitasi.

Berdasarkan UU No 24 tersebut, tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana

meliputi:

1.   Prabencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan peletahihan serta penentuan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana (kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana).

2.   Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap lokasi, kerusakan dan sumber daya, penentuan status keadan darurat, penyelamatan dan evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan dasar, pelayanan psikososial dan kesehatan.

Sulawesi  Tengah  merupakan  salah  satu  Provinsi  yang  rawan  akan  bencana  baik bencana alam maupun bencana karena ulah manusia. Bencana alam yang pernah terjadi di Provinsi Sulawesi  Tengah  adalah  Banjir,  Tanah  Longsor,  Gempa  Bumi,  tsunami,  Likufaksi, Kebakaran, kecelakaan transportasi laut dan darat serta memiliki 1 buah gunung berapi yang aktif dan rentan terjadi perubahan iklim yang sangat ekstrim dan bencana sosial lainya yang pernah terjadi diKabupaten Poso, Kabupaten Sigi, Kabupaten Buol, Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai laut,Kabupaten Donggala dan Kota Palu.

Berdasarkan  hasil  rekapitulasi  data Jenis  bencana  dan  Frekuensi  kejadian  bencana yang mengakibatkan Risiko krisis Kesehatan Oleh Dinas Kesehatan Provinsi Tengah Sulawesi Tengah antara tahun 2020 frekuensi kejadian tercatata sebanyak 37 kali frekuensi kejadian bencana.  Dimana  frekuensi  kejadian  tertinggi  ditahun  2020  ada  di  Kabupaten  Sigi  6  Kali frekuensi kejadian, Kabupaten Poso 10 kali frekuensi kejadian, frekuensi kejadian terendah ada pada Kabupaten Banggai 3 kali frekuensi kejadian, Kaupten Morowali 3 kali frekuensi kejadian bencana. Dibandingkan tahun 2021 terjadi kenaikan signifikan dimana tercatata sebanyak 110 kali frekuensi kejadian bencana dimana 3 (tiga) Kabupaten yang frekuensi kejadian bencana tertinggi  ada  pada  Kabupaten  Tojo  Una-Una  21  Kali  frekuensi  kejadian,  Kabupaten  Poso Banggai 19 kali frekuensi kejadian serta Kabupaten Poso 12 kali frekuensi kejadian. Untuk 3 (tiga) Kabupaten terendah frekuensi kejadian bencana terdapat pada Kabupaten Banggai kepulauan  4  kali  frekuensi  kejadian,   Kabupaten  Toli-toli  4  kalifrekuensi   kejadian  serta Kabupaten Buol yang tidak terdapat kejadian bencana alam atau bencana non alam yang akan mana semau kejadian tersebut akan mengakibatkan krisis kesehatan berupa kejadian angka kesakitan dan angka kematian berkepanjangan.

Untuk jenisnya bencana ditahun 2020 beraneka ragam seperti bencana banjir rop, Banjir bandang, tanah longsor, Kebakaran hutan,gempa, maupun kejadian yang disebabkan oleh ulah manusia. Sedangkan Jenis bencana yang terjadi ditahun 2021 dinominasi Gempa Bumi, Banjir , Banjir rop , tanah Lonsor, Angin Putting beliung, Laka Laut, serta ulah manusia seperti Pendaki Gunung, yang kesemuanya adalah jenis bencana alam dan yang diakibatkan oleh ulah manusia yaitu bencana non alam,  sehingga semakin mengukuhkan  bahwa Provinsi Tengah sebagai Provinsi dengan julukan “Etalase Bencana “.

Secara Geografis provinsi Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan  tingkat  risiko  bencana  alam  dalam  kelas  tinggi  dimana  BNPB  mencatat  provinsi Sulawesi  Tengah  rentan  terhadap  jenis  ancaman  bencana  berupa  banjir,  gempa  bumi, kebakaran  pemukiman,  kebakaran  hutan,  kekeringan,  cuaca  eksterem  dan  abrasi  serta bencana sosial.

Bencana  umumnya  memiliki  dampak  yang  merugikan.Kejadian  bencana  seringkali diikuti  dengan  adanya  arus  pengungsian   penduduk  ke  lokasi  yang  aman,  yang  akan menimbulkan permasalahan kesehatan yang baru di lokasi tujuan pengungsian tersebut. Hal ini tentu akan berdampak pada pembangunan kesehatan baik tingkat nasional maupun daerah. Dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk memulihkan keadaan.Belum lagi waktu yang hilang untuk mengejar ketertinggalan.Menimbulkan dampak krisis kesehatan.

Krisis kesehatan merupakan peristiwa/ rangkaian peristiwa yang mengancam kesehatan individu atau masyarakat yang disebabkan oleh bencana dan/atau berpotensi bencana. Berdasarkan Data Sistem InformasiUPT Pusat Pelayanan Kesehatan Terpadu Dinas Kesehatan yang  mana  penduduk  terdamapak  krisis  kesehatan  akibat  bencana  tertinggi  ada  pada Kabupaten Banggai sebanyak 1363 Jiwa, Kabupaten Tojo Una-una sebanyak 1288 Jiwa dan Kabupaten Sigi sebanyak  1562 Jiwa serta Kabupaten Poso 963 jiwa sedangkan penduduk terdampak krisis kesehatan akibat bencana terendah diperoleh pada Kabupaten Buol sebanyak 0 Jiwa, Kabupaten Morowali sebanyak 20 jiwa, serta Kota palu sebanyak 265 Jiwa. Data dan Informasi tersebut diperoleh dari unit/instansi terkait dan unit utama Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Untuk itu rekomendasi yang menjadi rujukan kami sehingga risiko penduduk terdampak krisis kesehatan akibat bencana terjadi penggurangan dan penanggulangan krisis kesehatan lebih  efektif  dan  efisien  maka  itu  Pemerintah  daerah  diharapkan  memberi  perhatian  pada wilayah  yang  memiliki  indeks  risiko  bencana  yang  tinggi  dan  sedang.Upaya  yang  harus dilakukan sebanyak mungkin untuk mitigasi bencana.

Upaya  tanggap  darurat  yang  efektif  harus  melibatkan  sebanyak  mungkin  subklaster yang memiliki keahlian khusus untuk mengatasi dampak terhadap bencana. antara lain bidang kesehatan  jiwa,  farmasi  dan  alat  kesehatan,  pencegahan  dan  pengendalian  penyakit,  dan pelayanan  kesehatan.  Sistem  koordinasi  di  tingkat  pusat  dan  daerah  memegang  peranan penting  dalam  upaya  tanggap  darurat  krisis kesehatan.

Pemerintah  daerah  perlu  membuat regulasi dan pedoman dalam kesiap siagaan tanggap darurat serta asistensi ke daerah terkena krisis. Pemerintah  daerah  baik  provinsi  maupun  kabupaten/kota  perlu  membuat  standar operasional prosedur tanggap darurat bencana sesuai kondisi masing-masing daerah dan koordinasi dengan pemerintah pusat. Bagi Pusat Krisis Kementerian Kesehatan sebaiknya melakukan koordinasi lebih intensif dengan lintas program di dalam dan luar Dinas Kesehatan yang masuk dalam sub klaster penanggulangan bencana.

Kesiapsiagaan perawat dalam menghadapi bencana perlu ditunjang dengan kompetensi perawat terhadap penanggulangan bencana. Salah satunya dengan cara mengikuti pendidikan pelatihan bencana dan simulasi bencana secara formal. Sehingga perawat siap menghadapi penanggulangan bencana secara efektif.(Setyawati et al., 2020).***