Oleh: Ahmadan B. Lamuri / Dosen Universitas Alkhairaat Palu

Sebuah kesyukuran dimana bulan yang penuh kemuliaan itu masih bersama kita. Jika membaca ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan puasa, demikian hadits, begitu banyak keutamaan, keistimewaan yang dimiliki bulan Ramadhan. Tulisan ini tidak mengungkap semuanya, melainkan satu hal sebagaimana dikatakan Nabi Muhammad saw kalau “Puasa itu sebagai Perisai” al-Shiyamu Junnah fala yarfuts wala yajhal” (H.R. Bukhari, 1894).

Perisai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan “sejenis alat untuk melindungi diri dan untuk menangkis senjata; bisa juga dimaknai sebagai tameng; pelindung dari segala jenis serangan musuh”. Jika demikian, maka hadits tersebut mengisyaratkan “puasa itu sebuah sistem ajaran yang dijadikan Allah swt sebagai pelindung dari ancaman musuh yang sewaktu-waktu dapat saja mencelakakan manusia. Ancaman musuh datangnya silih bergantidan tidak dapat dihindaribagi setiap manusia. Manusia harus memiliki kesiapsiagaan untuk hadapi ancaman dimaksud. Mengapa demikian, karena memang hidup ini dialektika yang selalu ada hal positif tetapi juga negatifnya. Allah swt telah menciptakan pada diri manusia dengan dua kondisi dimana kedua kondisi itu saling berhadapan dan berebutan yakni antara keburukan/kedurjanaan dengan ketaatan/ketakwaan (Q.S. asy-Syams: 8). Tetapi keburukan/kedurjanaan selalu mendominasi.

Musuh yang membawa bahaya dan sekaligus menjadi ancaman bagi manusia dari dalam dirinya adalah mengikuti kepentingan nafsu. Ini sesuatu yang sangat sulit untuk dihilangkan serta dicegah. Nafs dalam terminologi sufi adalah sesuatu yang menunjukkan penyakit dari sifat-sifat manusia atau akhlak-akhlak perbuatan manusia yang tercela. Pandangan lainnya sesuatu yang menjadi tempat (tujuan) dari hati ketika sedang berada dalam suasana yang buruk: marah, kecewa, dan lainnya. Yang pasti bahwa kondisi ini ada pada setiap manusia. Ahmad Farid menjelaskan bahwa nafsu merupakan pemutus antara hati dan jalan menuju Rabb; ia tidak akan datang dan sampai kepada Allah swt kecuali setelah mematikan dan meninggalkan nafsu dengan cara melawan dan mengalahkannya.

Nafsu dalam pandangan Imam al-Ghazali dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

Al-nafsu al-ammarah yaitu nafsu yang selalu menyuruh dan mengajak kepada diri manusia untuk melakukan kejahatan. Ketika seseorang memegang atau memiliki kekuasaan atau berkuasa, ia akan selalu mempergunakan kekuasaan dengan semaunya, sehingga selalu mendorong pada kejahatan. Sikap kesewenang-wenangan terjadi bahkan dipertontonkan dan seakan-akan itu adalah perbuatan terpuji. Oleh sebab itu, jika ada manusia yang bersamanya nafsu jenis ini termasuk orang yang berada pada derajat terendah.Mungkin kelompok manusia inilah yang dikatakan oleh Allah swt “bal hum adhal” dan juga “bal asfala as-saafilin“.Jenis manusia seperti ini menurut Ahmad Farid adalah manusia yang dikalahkan hawa nafsunya dimana nafsulah yang mengendalikannya dan bahkan ia larut mengikuti perintah-perintah nafsu.

Al-nafsu al-lawwamah yaitu nafsu yang sudah meningkat ke tataran yang lebih baik dengan tunduk pada hati nurani yang selalu membisikkan pada kebenaran. Namun karena sifat ammarahnya masih tersisa sehingga ia berusaha mencela dirinya sendiri atas kekurangan dan kelemahan yang ada itu. Manusia jenis ini termasuk yang telah menyadari atas perbuatannya yang karenanya dapat menjerumuskan kedalam kehancuran.

Al-nafsu al-muthmainnah yaitu jenis nafsu yang tenang. Sikap dan perilaku yang dihadirkannya adalah ketaatan terhadap segala jenis aturan. Ia tidak melakukan pelanggaran dan menyelewengkannya sehingga lahirlah sikap tenang. Seluruh sikap dan perilaku buruknya telah dirubah menjadi kerelaan (rida’). Apabila seseorang telah berada pada level ini, ia termasuk orang yang mengalahkan nafsu dan akhirnya nafsunya tunduk kepada keinginannya dan atas perintahnya. Nafsu jenis inilah yang tetap terus dipelihara karena telah mencapai puncak kesempurnaan memanfaatkan peran nafsu.

Apapun jenis nafsu, sesungguhnya ia senantiasa mengajak manusia pada perbuatan keji dan mengutamakan kehidupan dunia. Allah swt telah menyinggung dalam salah satu ayat-Nya: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan berusaha menahan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya (Q.S.al-Nazi’at: 40). Oleh karena itu, menurut Suhrawardi bahwa nafsu itu merupakan sumber dari sifat-sifat tercela yang ada pada diri manusia. Nafsu dengan segala keadaannya yang serba negatif merupakan sumber dari segala keburukan, maka manusia harus dapat mengendalikannya. Usaha terus untuk tidak patuh selalu pada keinginan dan kepentingan nafsu ammarah adalah tujuan terbaik. Salah satu cara terapi mengendalikan nafsu adalah dengan taat melaksanakan puasa.

Kata Rasulullah saw bahwa puasa itu adalah perisai. Selama melaksanakan ibadah puasa pelakunya harus memperhatikan hal-hal yang menyebabkan fungsi puasa tidak memiliki arti apa-apa. Apabila manusia menghendaki agar puasa menjadi perisai (pelindung) maka dari hadits tersebut di atas ada dua perbuatan yang diingatkan oleh Rasulullah saw; yaitu:

Pertama, selama berpuasa hendaknya shaimun tidak mengatakan perkataan kotor. Mengucap, berdialog, berkomunikasi menjadi sumber dimana “ungkapan atau perkataan kotor itu bisa saja terucap”. Oleh karena itu menurut Nabi ini perlu dijaga dengan sebaik mungkin selama melaksanakan puasa agar puasanya menjadi “perisai”. Menjaga keluarnya ucapan kotor juga berlaku pada penggunaan media sosial. Begitu dengan mudahnya ditemukan perkataan kotor terucap di media sosial yang dapat menyinggung orang lain. Mengolok-olok, mencacimaki, menyebut panggilan yang tidak pantas, dan sebagainya. Yang perlu dicamkan bahwa apapun bentuk ucapan itu akan menjadi saksi di kemudian hari. Ayat 65 surah Yasin telah menjelaskan kepada manusia bahwa “pada hari ini, Kami membungkam mulut mereka, tangan merekalah yang berkata kepada Kami…”. salah satu perbuatan tangan itu adalah menulis. Jika yang ditulis itu menunjukkan kepada ilmu dan kebaikan maka hasilnya akan menyerukan kepada Allah sesuai dengan apa yang dilakukannya; dan sebaliknya jika hasil kerja tangan adalah menulis yang melahirkan fitnah dan kebencian; yakinlah semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.Tetapi bisa saja lahirnya ungkapan kotor yang tidak terkontrol akibat pelakunya mengikuti perintah nafsu.

Kedua, kata Rasul saw agar puasa kita tetap menjadi perisai seyogyanya hindari melakukan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya esensinya menunjukkan kebodohan. Tentu ini harus memperhatikan peringatan-peringatan lainnya yang datangnya dari Allah swt dan Rasul-Nya pula. Misalnya: selain menahan lapar, haus dan nafsu juga menjaga seluruh perbuatan yang menjadi sebab puasa tidak bernilai di sisi Allah swt. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi shaimun karena Rasulullah sendiri telah menegaskan “berapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga semata”.

Puasa tidak akan dapat menjaga membentengi bahaya yang mengancam terhadap pelakunya apabila sang pelaku sendiri tidak berusaha menjaganya. Jangan jadikan nafsu sebagai penguasa, melainkan jadikanlah nafsu yang mengikuti arahan dan perintahmu. Nafsu selalu menjerumuskan manusia untuk bersikap dan bertingkahlaku materialisme, hedonisme, maksiat, dan menghambat tumbuh suburnya sikap spiritualitas. Dengan menjaga nilai kewajiban puasa, spiritualitas manusia akan terjaga.

Semoga dengan kesempurnaan puasa yang dikerjakan, akan menjadikan kita sebagai pemegang kunci salah satu pintu surga yang disebut oleh Rasulullah “Pintu al-Rayyan”. Pintu ini hanya dikhususkan bagi orang-orang yang sukses melaksanakan ibadah puasa dengan menjaga kemurniannya dari segala tantangan dan godaan.

Wallahul a’lam!