Oleh: Muhd Nur SANGADJI

(Akademisi Universitas Tadulako)

Syeik Muhammad Abduh yang kita singgung pada bagian pertama tulisan berseri ini adalah seorang ulama asal Mesir yang pindah ke kota Paris pada tahun 1884. Selama tinggal di Prancis, ia melihat negara ini begitu rapi, disiplin, dan bersih. Berbeda jauh dengan pemandangan di tanah kelahirannya.  Di Mesir, yang mayoritas penduduknya adalah orang Islam, ternyata jauh tertinggal dibandingkan dengan Prancis, yang jumlah muslimnya sangat sedikit.

Berangkat dari pemandangan  ini, ia lalu memproduksi suatu perkataan yang cukup terkenal hingga hari ini. Ia berkata: “dzahabtu ilaa bilaad al-ghorbi, roaitu al-Islam wa lam aro al-muslimiin. Wa dzahabtu ilaa bilaad al-‘arobi, roaitu al-muslimiin, wa lam aro al-Islam”. (aku pergi ke negara Barat, aku melihat Islam namun tidak melihat orang muslim. Dan aku pergi ke negara Arab, aku melihat orang muslim namun tidak melihat Islam).

Seratus 114 tahun kemudian. Tepat pada 1994, saya menginjakan kaki di Paris. Saya bersaksi bahwa apa yang diungkapkan Syeikh Muhammad Abduh itu benar adanya. Saya menumpahkan perasaan tersebut dalam goresan yang saya kasih judul ; Di Kaki Menara Eiffel.  Itu, artinya, 114 tahun sejak dikagumi oleh Muhammad Abduh pada tahun 1884 itu,  orang Perancis bisa menurunkannya kepada dua generasi,  dengan asumsi rata rata harapan hidup 70 tahun. Lantas, apalagi jawabannya kalau bukan pendidikan.

Saya mencatat beberapa perilaku kolektif yang masif dipraktekkan. Misalnya, perilaku saling sapa dan beri salam. Semua orang kalau berpapasan pasti saling mengucapkan salam. Mereka kenal atau tidak saling kenal. Bonjour (selamat pagi). Bon apres midi (selamat siang) atau bon soir (selamat malam). Ucapan salam ini sangat biasa dan otomatis.

Begitu pun saat akan berpisah. “Au Revoir”, sampai jumpa atau A biantot (sampai ketemu segera). A demain (sampai besok) atau “A la prochaine fois” (sampai jumpa pada kali berikut). Tentu biasa saja. Tapi, menjadi tidak biasa atau luar biasa ketika ini menjadi perilaku kolektif semua warga tanpa saling kenal. Sekali lagi, pendidikanlah yang mencetaknya.

Satu hal lagi yang saya anggap kebaikan massal yang sederhana adalah menahan pintu. Ada pintu yang buka tutupnya menggunakan fer. Setelah kita melewati nya, dia akan tertutup otomatis dan kencang. Semua orang pertama yang lewat, pasti menahannya hingga orang kedua menyusul dan seterusnya. Mengapa dia harus menahan ? Sebab bila tidak, orang berikut akan ditimpa lembaran pintu tersebut. Sederhana saja. Masalahnya di tempat kita, ada orang celaka karena perilaku abai dari individu yang melewatinya. Dengan kata lain,  menahan pintu untuk hindarkan orang lain dari resiko, belum menjadi kebiasaan perilaku kita.

Di balik kekaguman Muhammad Abduh pada perilaku manusia di benua biru ini. Saya justru menemukan orang-orang di tanah Napoleon ini malah mengagumi orang Jepang. Ras kuning yang satu ini paling dijempoli dari aspek kesantunan dalam berperilaku. Coba lihat orang Jepang kalau bertemu.

Saling hormat itu, menundukan kepala sampai rata dengan punggung. Di bandara Narita Tokyo, saya memperhatikan perilaku dua buruh bandara setelah selesai meletakkan kopor-kopor kami ke bagasi mobil. Keduanya mengambil sikap sempurna, kemudian menunduk hormat pada kendaraan yang akan tinggalkan bandara. Dipastikan, tidak ada seorang kawan pun yang melihat, kecuali saya. Artinya, dua orang butuh itu memberikan hormat tanpa perduli ada yang saksikan.

Belum berselang lama, para pemain dan ofisial Jepang dipuji manusia sedunia lantaran perilaku mereka mengagumkan di  piala sepakbola dunia di Qatar. Mereka menjadi cleaning service spontan di tribun. Mereka mengajarkan perilaku baik dengan memberi contoh. Walaupun kesebelasannya kalah, sama sekali tidak menyurutkan mereka untuk berbuat mulia.

Semangat anti korupsi telah terpatri sebagai budaya. Bushido yang bermakna tidak akan mau mengambil atau menerima sesuatu yang bukan haknya, telah lama dipraktekkan turun temurun. Kerena itu dia membentuk kebiasaan. Semoga ibadah puasa kita pun begitu. Membentuk kebiasaan yang baru dan baik bagi kemaslahatan. Wallahu a’lam syawab. ***