SULTENG RAYA – Lembaga Sensor Film (LSF) bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah melaksanakan Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri di Swiss-belhotel Silae hall Palu, Rabu (22/2/2023).

Sosialisasi itu bertujuan memberikan penguatan fungsi literasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kepedulian dan kesadaran untuk menonton film sesuai dengan klasifikasi usia.

Dalam sambutannya, Ketua Subkomisi Dialog LSF RI, Noorca M. Massardi  mengatakan bahwa penyensoran film merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang

Perfilman, dimana setiap film yang akan diedarkan dan pertunjukkan wajib mendapatkan Surat Tanda

Lulus Sensor dari Lembaga Sensor Film.

“Film adalah produk budaya yang sangat efektif dalam penyampaian pesan. LSF menyadari secara penuh, bahwa upaya untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif film tidak hanya cukup dengan kebijakan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS). Masyarakat dan publik perlu mendapatkan pendidikan dan pengetahuan terhadap film, melalui penguatan fungsi literasi, sehingga masyarakat memiliki kepedulian dan kesadaran untuk menonton film sesuai dengan klasifikasi usia dan peruntukkannya,” katanya.

Menurutnya, untuk menguatkan fungsi literasi masyarakat dalam aspek Perfilman, maka Lembaga Sensor Film pada tahun 2021 mencanangkan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri yakni gerakan memilah dan memilih tontonan sesuai dengan klasifikasi usia.

Kebijakan filterasi, penilaian dan penelitian terhadap konten perfilman sebelum diedarkan dan

dipertunjukan merupakan bagian dari upaya untuk melindungi masyarakat dan mewujudkan hak

masyarakat untuk mendapatkan konten perfilman yang bermutu dan berkualitas. 

“Film tentu akan memberikan dampak negatif, bila ditonton tidak sesuai dengan klasifikasi usia, karena film yang diperuntukan bagi orang dewasa tidak akan cocok bila ditonton oleh anak-anak. Film yang mengandung pornografi, kekerasan, perjudian, pelecehan, perendahan terhadap harkat dan martabat serta penodaan terhadap agama dan kemanusiaan, tentu akan memberikan dampak buruk bagi masyarakat bila tidak ada proses penyensoran,”jelasnya.

Noorca M. Massardi  mengatakan, kewenangan LSF diatur dalam UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, pada Pasal 61 ayat (1) yaitu”Lembaga sensor film memasyarakatkan penggolongan usia penonton film dan kriteria sensor film” dan ayat (2) “Lembaga Sensor Film membantu masyarakat agar dapat memilih dan menikmati pertunjukan film yang bermutu serta memahami pengaruh film dan iklan film”.

LSF dengan gencar dan semangat memberikan literasi tentang pentingnya melakukan sensor mandiri dalam menonton film di media apapun.

“Dengan mengangkat tema kegiatan cerdas memilah dan memilih tontonan, masyarakat

diharapkan mampu memproteksi diri dan sekitar, serta memperkaya kearifan setempat sebagai upaya mempertahankan ciri kepribadian bangsa. Tanpa adanya penyaringan mandiri oleh masyarakat, sebuah film hanya akan menjadi sebuah komoditas yang bukan saja tidak bermanfaat tetapi juga berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa,” ujar Noorca M. Massardi.

Sementara itu, Asisten Ahli Gubernur Bidang Ekonomi Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat Provinsi Sulawesi Tengah, Farida mendukung penuh gerakan yang digalakkan oleh LSF dan berharap bahwa bersama-sama gerakan ini dapat mengakar dan tumbuh dalam masyarakat khususnya di Sulawesi Tengah.

“Pentingnya peran orang tua, keluarga, pendidik, dan lingkungan sekitar untuk menjadi penyaring utama dalam menentukan tayangan mana yang layak atau tidak untuk dikonsumsi dan dapat melindungi keluarga dan melindungi orang-orang yang kita sayangi,”katanya.

Sosialisasi itu turut menghadirkan narasumber yang memberikan informasi dan literasi secara langsung mengenai pentingnya Budaya Sensor Mandiri diantaranya Sekretaris Komisi I LSF RI, Hafidah, Ketua Subkomisi Penelitian dan Pengkajian LSF RI, Kuat Prihatin, dan Kepala Bidang Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah, Rachman Ansyari. *WAN