Penulis: Odjie Samroji /Mahasiswa Program Doktor Manajemen Universitas Negeri Surabaya

Beberapa waktu terakhir, banyak wilayah di Sumatera seperti hidup dalam jeda yang tegang. Hujan turun berhari-hari, sungai-sungai meluap, lalu kabar yang datang nyaris serupa dari satu daerah ke daerah lain: jalan putus, rumah terendam, longsor menutup akses, sekolah diliburkan, layanan kesehatan tersendat. Di beberapa kampung, listrik padam dan sinyal hilang, membuat warga benar-benar merasa “sendirian” di tengah situasi yang serba terbatas. Yang paling melelahkan bukan hanya hari ketika banjir datang, tetapi hari-hari setelahnya saat lumpur mengering, bau tak sedap bertahan, kasur dan perabot rusak, dan orang-orang tetap harus memikirkan besok: kerja bagaimana, anak sekolah bagaimana, kebutuhan harian dari mana.

Di saat seperti itu, respons cepat memang menyelamatkan. Air bersih, makanan siap saji, obat-obatan, perlengkapan bayi, selimut, dan layanan kesehatan tidak bisa menunggu. Tetapi bencana di Sumatera juga mengingatkan kita pada satu kenyataan yang sering tak terlihat dari luar: bantuan darurat hanya satu bab dari cerita panjang. Setelah posko dibongkar dan perhatian publik bergeser, keluarga-keluarga terdampak masih bergulat dengan hal-hal yang sangat manusiawi memperbaiki rumah dengan sisa tabungan, mencari penghasilan yang sempat hilang, menata kembali usaha kecil yang rusak, dan menenangkan anak-anak yang trauma setiap kali hujan kembali turun deras.

Di sinilah lembaga filantropi punya peran yang lebih besar daripada sekadar “mengirim bantuan”. Filantropi sering menjadi pihak yang paling lincah: cepat bergerak, dekat dengan komunitas, dan bisa menjangkau tempat-tempat yang tak selalu mudah diakses. Namun, kekuatan filantropi akan jauh lebih terasa jika tidak berhenti di fase tanggap darurat. Karena bencana yang berulang membuat banyak warga tidak sempat benar-benar pulih. Mereka baru saja berdiri, lalu tersapu lagi. Maka bantuan yang paling berarti bukan hanya yang datang cepat, tetapi yang membantu masyarakat berdiri lebih kokoh.

Kerja filantropi dapat bergeser dari “menolong saat kejadian” menjadi “menguatkan sebelum kejadian berikutnya”. Hal-hal yang tampak sederhana sering kali punya dampak besar: memperkuat kesiapsiagaan sekolah dan puskesmas, mendukung pelatihan relawan lokal, memastikan akses air bersih dan sanitasi yang lebih tahan bencana, membantu warga punya sistem peringatan dini berbasis komunitas, sampai mendampingi desa menyusun rencana evakuasi yang betul-betul dipahami semua orang. Ini pekerjaan yang tidak selalu ramai diberitakan, tetapi justru menentukan apakah sebuah kampung akan panik atau siap ketika sirene alami—hujan ekstrem dan air naik—kembali terdengar.

Filantropi juga bisa menjadi jembatan agar kerja-kerja kemanusiaan tidak berjalan sendiri-sendiri. Di lapangan, kita tahu betul problem yang sering berulang: ada lokasi yang banjir bantuan, ada lokasi lain yang nyaris tak tersentuh; data kebutuhan berubah cepat; koordinasi berlapis; dan di tengah kepanikan, kabar simpang siur mudah menyulut kecurigaan. Filantropi dapat membantu merapikan hal ini—mendorong pemetaan kebutuhan yang lebih presisi, memperkuat transparansi penyaluran, dan menghubungkan pemerintah daerah, komunitas, relawan, dunia usaha, serta media dalam satu ritme yang saling melengkapi.

Pemulihan sebagai Titik Balik