Bencana banjir bandang yang terjadi, bukan sekadar peristiwa alam yang berdiri sendiri. Ia adalah potret dari kesalahan kolektif yang telah berlangsung lama. Kita harus jujur mengakui bahwa alam tidak pernah marah, ia hanya memberi respons sesuai tekanan yang diterimanya. Ketika sungai dipersempit, ketika gunung dipangkas, ketika tanah kehilangan napasnya, maka air akan mencari jalannya sendiri tanpa peduli batas-batas administrasi dan rencana tata ruang.
Namun tulisan ini bukan hanya tentang peringatan. Ia juga tentang harapan, bahwa jejak ekologis dapat diperkecil, bahwa langkah manusia dapat diarahkan kembali pada kearifan. Banjir yang menggulung hunian di Aceh dan Sumatera seharusnya tidak sekadar menjadi berita sesaat. Ia harus menjadi ruang refleksi bagi pemerintah, masyarakat, dan kita semua untuk menata ulang prioritas pembangunan, memperbaiki tata kelola hutan, dan memperkuat kembali daya tampung ekosistem.
Kita perlu mengembalikan hutan sebagai pelindung, bukan sekadar komoditas. Menata sungai sebagai alur kehidupan, bukan saluran pembuang. Mengajarkan generasi mendatang bahwa bumi tidak memiliki serep, yang kita injak hanya satu, dan jejak kita akan menentukan apakah ia tetap layak dihuni atau berubah menjadi ruang yang kehilangan daya dukungnya.
Akhirnya, setiap banjir adalah cermin. Ia memperlihatkan siapa kita, apa yang kita lakukan, dan ke mana arah kita melangkah. Jika hari ini kita melihat air yang meluap dan hutan yang hilang, itu karena jejak ekologis kita terlalu berat untuk dipikul alam. Tugas kita adalah menipiskan jejak itu, melangkah lebih ringan, dan memastikan bahwa generasi yang datang dapat berjalan di bumi-alam yang lebih kokoh, lebih teduh, dan lebih hidup.
Penulis: Dosen Unisa Palu