Oleh: Kasman Jaya
Setiap langkah ekologis manusia meninggalkan jejak, jejak yang kadang terdengar lirih, namun getarnya dapat mengguncang bumi. Jejak itu bukan hanya bekas kaki di tanah yang kita pijak, tetapi rekaman dari seluruh aktivitas hidup, cara kita mengonsumsi, membangun, mengambil, dan membuang. Jejak itu disebut jejak ekologis. Jejak itu ukuran tak kasatmata yang mengukur seberapa besar daya dukung alam yang kita pakai, berapa luas lahan dan air yang diperlukan, serta berapa banyak limbah, terutama karbon (polusi) yang dititipkan pada alam untuk diserap.
Menurut Global Footprint Network (2024), hari ini manusia hidup seakan memiliki 1,7 bumi. Kita memanen lebih cepat daripada alam mampu tumbuh kembali. Kita menghisap energi masa depan untuk memenuhi ambisi hari ini. Dalam rentang waktu yang panjang, jejak ini pelan-pelan menekan keseimbangan ekosistem, menciptakan celah kepunahan, lalu membuka pintu bagi bencana yang semakin sukar dikendalikan.
Salah satu cermin nyata dari jejak itu tampak pada bencana banjir bandang yang saat ini, baru saja melanda Aceh dan berbagai wilayah di Sumatera. Air yang menenggelamkan banyak rumah, merusak sawah, dan memutus jalan bukanlah sekadar akibat hujan yang turun di luar kebiasaan. Ia adalah bahasa alam, sebuah peringatan yang dikirim dalam wujud paling telanjang. Ketika hutan kehilangan pepohonan yang selama ini menahan air, ketika akar-akar dicabut dari tanah yang mengikatnya, maka hujan bukan lagi anugerah, melainkan ancaman yang meluncur tanpa kendali. Dan cermin nyata jejak itu berulang menerjang banyak daerah di negeri ini, namun kita tak mampu belajar dari wajah suram akibat perilaku buruk terhadap alam.
Banjir itu menandai retaknya relasi kita dengan hutan. Dulu, hutan adalah penjaga, kanopinya meredam hujan, akarnya mengikat tanah, dan tubuh landscapenya menjadi rumah bagi keanekaragaman. Namun ketika pembukaan lahan meluas, ketika penebangan berganti menjadi kebiasaan, dan ketika ekonomi lebih mendengar suara keuntungan daripada kelestarian, maka hutan kehilangan kekuatannya. Sebagian besar wilayah banyak daerah longsor dan banjir menunjukkan satu pola yang sama, hilangnya vegetasi dan terganggunya sistem hidrologi alami. Dalam jeda waktu itu, manusia akhirnya memanen apa yang ditaburnya sendiri, benih-benih ketidakpedulian yang lama ia biarkan tumbuh liar, menggerogoti keseimbangan alam.
Alam selalu tahu kapan harus berbicara. Dalam setiap banjir, longsor, atau semburat cuaca yang tak menentu, tersimpan pesan halus, bahwa harmoni bukan sekadar anjuran, melainkan syarat bagi keberlanjutan hidup.