Di masa pemerintahannya, kasus penembakan misterius, tragedi Tanjung Priok, hingga praktik pembungkaman aktivis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari represi negara. Sistem politik yang terpusat di tangan presiden mempersempit ruang kebebasan sipil dan mereduksi peran lembaga negara. Ruang pers pun tidak luput dari pemberedelan yang membuat informasi berada di bawah kendali kekuasaan.

Ahmad juga menyoroti maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Transparansi Internasional bahkan pernah menempatkan Soeharto sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia. Kebijakan pembangunan yang timpang menghasilkan kesenjangan sosial yang masih dirasakan hingga kini.

“Dampak penobatan ini jauh dari sekadar simbol. Kami menilai keputusan ini mengkhianati semangat reformasi yang telah tumbuh dengan susah payah,” tambahnya.

Kekhawatiran lain muncul terkait potensi legitimasi ulang terhadap praktik otoritarianisme. Ia melihat risiko pudarnya perjuangan korban pelanggaran HAM yang hingga kini masih menuntut keadilan.

Aktivis Sulteng meminta Presiden Prabowo untuk mencabut penetapan gelar pahlawan tersebut. Mereka menilai pemerintah harus bersikap arif dengan mempertimbangkan sejarah panjang persoalan HAM, integritas kepemimpinan, serta aspirasi publik yang menolak glorifikasi masa orba. “Ini adalah peringatan agar negara tidak kembali jatuh pada pola kekuasaan represif yang pernah mengekang kebebasan rakyat,”ujarnya. AMR/*