SULTENG RAYA – Penetapan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, oleh Presiden Prabowo Subianto menuai penolakan dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Di Sulawesi Tengah, aktivis Ahmad Alhabsyi menjadi salah satu yang bersuara lantang menolak keputusan tersebut, yang dinilai mencederai memori kolektif bangsa terkait sejarah kelam orde baru (orba).
Penganugerahan gelar itu diumumkan dalam upacara resmi di Istana Kepresidenan pada Senin, 10 November 2025. Melalui Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 2025, Soeharto masuk dalam deretan sepuluh tokoh yang dinyatakan berjasa besar bagi negara. Kebijakan ini justru memantik gejolak di kalangan aktivis, khususnya generasi muda yang selama dua dekade terakhir berjuang menjaga semangat Reformasi 1998.
Ahmad menilai pemberian gelar tersebut tidak pantas, bahkan langkah ini berpotensi menafsirkan ulang sejarah nasional dengan cara yang keliru. Ia menegaskan bahwa penobatan itu seolah menyatakan perjuangan rakyat dan mahasiswa menghadapi rezim orba sebagai kesalahan.
Dalam pernyataannya, Ia merinci sederet persoalan yang membuat Soeharto dianggap tidak layak menyandang gelar pahlawan. Catatan panjang pelanggaran hak asasi manusia, praktik korupsi yang mengakar, hingga model pemerintahan otoriter disebut sebagai warisan gelap orde baru (orba) yang tidak boleh dihapuskan begitu saja dari memori publik.