SULTENG RAYA- Maraknya kasus perundungan atau bullying yang kembali mencuat di berbagai daerah di Indonesia belakangan ini mengundang keprihatinan mendalam dari berbagai kalangan, tak terkecuali di Sulawesi Tengah. Dari lingkungan sekolah hingga dunia maya, kekerasan verbal maupun fisik terus menelan korban, terutama di kalangan pelajar. Fenomena tersebut tidak hanya merusak kesehatan mental individu, tetapi juga mencederai nilai kemanusiaan dan semangat kebersamaan di tengah masyarakat.

Melihat situasi yang semakin memprihatinkan, sejumlah aktivis muda Sulawesi Tengah mendorong agar Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah segera membentuk Satuan Tugas Perlindungan Pelajar Anti-Bullying. Satgas ini diharapkan menjadi wadah pengawasan, pelaporan, dan pendampingan bagi korban perundungan di sekolah.

Satgas Anti-Bullying ini nantinya diharapkan melibatkan unsur pemerintah, lembaga pendidikan, psikolog, tokoh pemuda, serta komunitas pelajar. Kehadirannya diharapkan mampu menciptakan mekanisme pencegahan dan penanganan kasus perundungan yang lebih sistematis di sekolah-sekolah, baik di kota maupun di pelosok daerah.

Selain membentuk Satgas, aktivis juga menyerukan pentingnya kampanye publik dan gerakan sosial yang menumbuhkan kesadaran anti-kekerasan di kalangan anak muda. Kegiatan seperti diskusi pelajar, pelatihan peer counselor, hingga festival seni bertema empati dan perdamaian sebagai sarana efektif untuk membangun karakter pelajar yang peduli dan menghargai sesama.

Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) Sulawesi Tengah, Opick Delian Alindra, menilai bahwa maraknya kasus perundungan saat ini merupakan cerminan adanya krisis moral dan empati di kalangan generasi muda.

“Bullying bukan sekadar kenakalan remaja. Ini adalah bentuk kegagalan dalam menanamkan nilai adab dan rasa saling menghargai di dunia pendidikan,” tegasnya, Rabu (22/10/2025).

Menurut Opick, pendidikan karakter harus menjadi fokus utama di setiap jenjang pendidikan agar pelajar tidak hanya tumbuh menjadi pribadi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Ia menilai bahwa pembelajaran yang berorientasi pada nilai kemanusiaan perlu diperkuat dalam sistem pendidikan saat ini.

Senada dengan itu, Moh. Riski, eks Ketua Forum Anak Kabupaten Donggala sekaligus pemuda pelopor nasional, turut menyuarakan keprihatinannya. Ia menyampaikan bahwa banyak korban bullying memilih diam karena takut atau merasa malu untuk melapor. “Diamnya korban bukan berarti tak terluka. Justru di situlah luka paling dalam disembunyikan,” ujarnya.

Riski mengajak seluruh elemen masyarakat, terutama generasi muda, untuk berani menjadi pelindung bagi teman-temannya, bukan justru pelaku atau penonton dalam kasus perundungan. Menurutnya, budaya empati dan saling menghargai harus ditumbuhkan kembali di tengah kehidupan pelajar agar tercipta lingkungan sosial yang sehat dan inklusif.

Selain dampak psikologis yang nyata, bullying juga berpotensi menimbulkan efek jangka panjang seperti depresi, trauma, penurunan kepercayaan diri, hingga keinginan untuk mengakhiri hidup. Kondisi ini, kata para aktivis muda, harus disikapi secara serius oleh seluruh pihak, mulai dari keluarga, lembaga pendidikan, hingga pemerintah daerah.ENG