Kemajuan tidak selalu lahir dari panggung gemerlap. Sering kali ia tumbuh diam‑diam, di kelas dengan cat yang mulai pudar, di ruang bersalin yang lampunya menyala sampai larut malam, atau di posko darurat ketika hujan enggan berhenti. Di sanalah Muhammadiyah bekerja: tidak banyak bicara, tetapi tekun membantu.

Bayangkan seorang guru muda di sekolah Muhammadiyah di pinggiran kota. Gajinya pas‑pasan, namun setiap pagi ia datang lebih awal: menyapu ruang kelas, menyalakan proyektor seadanya. “Kalau anak‑anak ini percaya diri,” katanya suatu saat , “mereka akan berani bermimpi.” Bagi guru itu, pelajaran matematika bukan sekadar angka ia adalah jembatan agar muridnya bisa melangkah dari sekadar bertahan hidup menuju masa depan yang membuka harapan. Dalam tradisi Muhammadiyah, pendidikan bukan ritual tahunan ia adalah kerja kecil yang diulang‑ulang, menemani anak membaca, membetulkan tugas, mendengar keluh‑kesah orang tua. Dari situ mobilitas sosial perlahan muncul.

Pindah ke ruang bersalin rumah sakit milik Muhammadiyah. Seorang perawat membantu ibu yang cemas menghadapi persalinan anak pertama. Tak ada pidato di sana, hanya tangan yang cekatan, dan suara yang menenangkan: “Ibu, Anda tidak sendiri.” Ketika tangis bayi akhirnya pecah, kita mengerti: pelayanan kesehatan bukan soal gedung megah, melainkan kehadiran yang tepat waktu dan penuh kasih. Banyak keluarga merasakan bahwa rumah sakit dan klinik yang dikelola dengan semangat pengabdian bisa menjadi penyangga harian bagi kesehatan publik: dari vaksinasi hingga merawat lansia.

Lalu datang sore pasca‑gempa. Jalan retak, listrik padam, sinyal hilang dan rumah yang rubuh. Di tengah kebingungan, relawan dari Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) tiba dengan rompi yang mudah dikenali. Mereka mendirikan tenda, memetakan kebutuhan, mengantar logistik ke gang-gang sempit, dan yang sering lupa diperhatikan, mendengar cerita warga satu per satu. Di masa genting, kecepatan menyelamatkan; empati menenangkan. Ternyata ketangguhan bencana bukan hanya soal prosedur dan alat, melainkan jejaring kepercayaan yang sudah dibangun jauh hari sebelumnya.

Di sisi lain, ‘Aisyiyah, gerakan perempuan yang sejak lama merawat inti keluarga dan kehidupan sosial, memperlihatkan bagaimana kualitas hidup bisa dibangun dari hal kecil. Seorang ibu memulai usaha rumahan setelah ikut pelatihan ‘Aisyiyah: membuat pangan sehat, mengelola keuangan, belajar pemasaran sederhana. Penghasilannya belum besar, tetapi cukup untuk menambah biaya sekolah anaknya. “Yang penting saya merasa berguna,” katanya. Pemberdayaan seperti ini jarang masuk headline namun di sanalah kepercayaan diri tumbuh, dan ekonomi keluarga mulai berdiri lebih kokoh.

Cerita‑cerita kecil itu memberi kita lensa baru untuk melihat peran Muhammadiyah. Bukan semata statistik jumlah sekolah, tempat tidur rumah sakit, atau relawan yang banyak, semua itu penting. Tetapi yang membuatnya berarti adalah cara bekerja: dengan nilai, dengan akal sehat, dan dengan tanggung jawab terhadap sesama warga. Muhammadiyah menunjukkan bahwa agama dapat menjadi tenaga etik yang mendorong ilmu, pelayanan, dan kewargaan; bahwa keimanan dapat diwujudkan dalam kerja sosial yang nyata dan konkret.

Apa artinya bagi negara? Pertama, negara yang cerdas tidak berjalan sendiri. Ia mau mendengar dan bermitra. Jaringan pendidikan dan kesehatan yang sudah terlebih dulu hadir di banyak daerah bisa diajak mempercepat pemerataan layanan. Bukan menyerahkan tanggung jawab, melainkan berbagi peran yang akuntabel: negara menyiapkan payung kebijakan, standar mutu, dan pendanaan berbasis hasil; masyarakat sipil menjalankan layanan yang paling dekat dengan warga.

Kedua, ketangguhan bencana harus menjadi kepentingan bersama. Latihan bersama, berbagi data, serta komando terpadu antara lembaga pemerintah dan relawan akan membuat jam‑jam pertama pasca bencana bukan penuh kekacauan, tetapi tertata. Kita sudah melihat contohnya: ketika jejaring yang saling percaya bekerja, bantuan tiba bukan esok hari, melainkan hari itu juga.

Ketiga, kemajuan perempuan harus menjadi arus utama. Program literasi, kesehatan, dan wirausaha yang digerakkan ‘Aisyiyah membuktikan: ketika perempuan diberi ruang, seluruh keluarga maju. Ini bukan tambahan, melainkan mesin ganda kemajuan: pendidikan yang memerdekakan dan ekonomi rumah tangga yang menguat.

Beberapa orang mungkin bertanya: bukankah semua ini tugas pemerintah? Ya. Namun republik ini terlalu luas untuk ditopang satu bahu. Kita butuh koalisi kebaikan yang menggabungkan kebijakan yang adil, profesionalisme layanan, dan kehangatan relawan. Muhammadiyah dengan sekolah, rumah sakit, jaringan kemanusiaan, dan gerakan perempuan telah menunjukkan bagaimana koalisi itu bisa bekerja tanpa banyak gemuruh.

Pada akhirnya, kemajuan Indonesia dapat diukur dari hal‑hal sederhana: anak pertama di keluarga yang berhasil lulus kuliah; ibu yang pulang dari rumah bersalin dengan senyum lega; kampung yang pulih lebih cepat setelah bencana; dan usaha kecil yang tumbuh karena ada yang mengulurkan tangan. Di tempat‑tempat seperti itulah kita melihat jejak Muhammadiyah, tenang, bersahaja, tetapi konsisten. Dan mungkin di sanalah, dalam sunyi, cita‑cita “Indonesia Maju” menemukan napasnya.*