Kegagalan tata kelola ini bermanifestasi langsung pada kinerja keuangan yang terukur. Data menunjukkan tren penurunan efisiensi BUMN, terlihat dari merosotnya rasio Return on Equity (ROE) dari 10.8% menjadi 9.3% dan Return on Assets (ROA) dari 3.2% menjadi 2.8% dalam satu tahun. Ironisnya, penurunan efisiensi ini terjadi di tengah lonjakan utang yang masif. Kombinasi peningkatan utang yang drastis dengan penurunan profitabilitas merupakan gejala klasik misalokasi modal, yang mengindikasikan bahwa keputusan investasi lebih didorong oleh agenda politik non-komersial daripada kelayakan bisnis yang sehat.

Teori Agensi (Jensen & Meckling, 1976), menjelaskan hubungan antara pemegang saham (prinsipal) dan manajemen (agen) diwarnai oleh potensi konflik kepentingan. Dewan komisaris dibentuk sebagai mekanisme pengawasan untuk memastikan agen (manajemen) bertindak demi kepentingan terbaik prinsipal (negara/publik) dan untuk memitigasi biaya agensi (agency costs). Namun, ketika dewan komisaris diisi oleh individu dengan afiliasi politik, struktur ini menjadi rusak. Muncul “prinsipal kedua” yang tidak terlihat, yaitu partai politik atau patron politik.

Akibatnya, komisaris yang seharusnya menjadi pengawas bagi negara, kini memiliki insentif ganda: mengawasi manajemen sambil memastikan tindakan manajemen juga sejalan dengan kepentingan prinsipal kedua. Konflik kepentingan ini menjadi tak terhindarkan. Keputusan investasi mungkin tidak lagi didasarkan pada analisis Net Present Value (NPV) yang positif, melainkan pada proyek-proyek yang memiliki visibilitas politik tinggi. Kebijakan rekrutmen mungkin lebih mengutamakan afiliasi daripada kompetensi. Fungsi pengawasan yang seharusnya tajam menjadi tumpul karena loyalitas telah terbagi.

Runtuhnya mekanisme kontrol ditinjau dari analisis teori pengendalian. Teori Pengendalian (Control Theory) dalam manajemen berfokus pada sistem dan mekanisme yang dirancang untuk menjaga organisasi tetap pada jalurnya dalam mencapai tujuan strategisnya. Mekanisme ini mencakup pengendalian internal, audit independen, dan yang terpenting, pengawasan oleh dewan yang objektif. Dewan komisaris yang didominasi oleh unsur politik secara sistematis melemahkan mekanisme kontrol ini.

Alih-alih berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif (checks and balances), dewan tersebut justru dapat menjadi fasilitator bagi keputusan-keputusan yang didorong oleh motif politik, yang sering kali mengabaikan prosedur standar keuangan dan operasional. Risiko penipuan (fraud), alokasi sumber daya yang tidak efisien, dan penyimpangan strategis dari tujuan komersial yang sehat meningkat secara eksponensial. Ketika kontrol internal dilemahkan dari atas, budaya kepatuhan di seluruh organisasi terkikis.

Pergeseran fungsi dari pelayan menjadi partisan merupakan sebuah distorsi dalam pandangan teori stewardship. Berbeda dengan Teori Agensi yang berasumsi adanya konflik kepentingan, Teori Stewardship (Davis, Schoorman & Donaldson, 1997) mengasumsikan bahwa para direktur dan komisaris adalah “pelayan” (stewards) yang secara intrinsik termotivasi untuk bertindak demi kepentingan jangka panjang perusahaan. Kepentingan mereka dianggap selaras dengan kepentingan organisasi.

Namun, asumsi fundamental ini runtuh ketika proses seleksi komisaris tidak didasarkan pada rekam jejak profesional dan integritas, melainkan pada loyalitas politik. Motivasi utama mereka mungkin bukan lagi menjadi pelayan aset negara, melainkan memenuhi kewajiban politik atau “balas jasa”. Peran mereka bergeser dari mitra strategis manajemen menjadi pengawas politik. Hal ini mendistorsi budaya perusahaan secara keseluruhan, dari budaya yang berorientasi pada kinerja (performance-driven) menjadi budaya yang berorientasi pada kepatuhan terhadap tuntutan politik eksternal.

Kegagalan yang dijelaskan oleh ketiga teori ini tidak terjadi secara terpisah. Sebaliknya, mereka saling terkait dan saling memperkuat, menciptakan sebuah siklus setan kerusakan tata kelola (vicious cycle of governance decay). Proses ini dimulai ketika penunjukan politik merusak fungsi pengawasan dalam Teori Agensi. Dengan pengawasan yang lemah, mekanisme kontrol internal yang dijelaskan dalam Teori Pengendalian menjadi mudah untuk dilewati demi keputusan yang menguntungkan secara politik tetapi merugikan secara komersial. Lingkungan kerja yang tidak profesional ini secara aktif menolak atau mengeluarkan para “pelayan” sejati yang diidealkan dalam Teori Stewardship.

Manajer profesional yang tersisa terpaksa harus “bermain politik” untuk bertahan, yang semakin mengikis budaya profesional perusahaan. Ironisnya, kinerja buruk yang dihasilkan dari siklus ini sering kali digunakan oleh aktor politik sebagai pembenaran untuk melakukan intervensi yang lebih besar lagi dengan dalih “memperbaiki masalah”, yang pada kenyataannya hanya memperdalam politisasi dan memulai kembali siklus tersebut dengan intensitas yang lebih tinggi.

Kontras Internasional dan Urgensi Depolitisasi Struktural