Suasana pagi hari, Selasa (26/8/2025) di ruang rektorat Unismuh Palu terasa hangat ketika Prof. Dr. H. Rajindra, SE., MM., mulai membuka kisah panjangnya. Matanya sesekali menerawang jauh ke masa lalu, seolah sedang mengulang kembali potongan-potongan sejarah yang telah membentuk dirinya, sekaligus membangun kampus tempatnya mengabdi lebih dari tiga dekade.

Oleh: Amiluddin/Sulteng Raya

“Ada satu hal yang paling saya ingat dari beliau (Rusdy Toana),” ucap Rajindra perlahan, “keteduhan. Tidak pernah marah, meskipun menghadapi persoalan rumit.”

Sosok yang ia maksud adalah almarhum Rusdy Toana, rektor pertama Unismuh Palu, yang bukan saja mendirikan kampus ini, melainkan juga menanamkan nilai, cara pandang, dan gaya kepemimpinan yang sampai hari ini masih terasa jejaknya.

Pertemuan Pertama

Rajindra pertama kali berinteraksi dengan Rusdy Toana pada 1987. Saat itu ia masih mahasiswa, sementara Rusdy Toana sudah menjadi rektor. Pertemuan itu tidaklah intens. Hanya sebatas mahasiswa yang melihat pemimpin kampusnya dari kejauhan.

Namun, hubungan keduanya mulai dekat saat Rajindra mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Posko KKN mereka ditempatkan di Jalan Hangtuah, lokasi yang kini berdiri megah sebagai pusat aktivitas Unismuh Palu.

Di masa itu, kampus masih sederhana. Tanah kampus baru saja diusahakan. Pohon-pohon masih jarang, pagar belum tegak sempurna, bahkan legalitas sebagian lahan masih menuai perdebatan.

“Di situlah saya betul-betul mengenal beliau. Cara beliau menyelesaikan masalah sangat berbeda. Tenang sekali,” kenang Rajindra.

Rajindra menceritakan pengalaman tak terlupakan ketika peserta KKN mengalami persoalan dengan warga terkait lahan kampus . Suatu hari, mahasiswa KKN sedang memasang pagar di lahan kampus. Tiba-tiba datang seorang warga yang marah besar. Ia menuding tanah yang dipagari adalah miliknya. Mahasiswa kebingungan. Akhirnya, mereka memutuskan menemui rektor di rumahnya di Jalan Soeprapto.

Namun saat itu Rusdy Toana tidak berhasil ditemui karena tengah istirahat siang, hanya salah satu putrinya yang ditemui, setelah menjelaskan kondisi yang ada, mahasiswa KKN kembali pulang ke posko. Jelang beberapa lama kemudian, sosok Rusdy Toana muncul di posko.

Mendengarkan cerita dengan penuh kesabaran. Tidak ada emosi yang meledak. “Beliau hanya bilang, hentikan dulu pagar. Biarkan saya yang selesaikan. Besok semua akan baik-baik saja,” tutur Rajindra.

Esoknya, benar saja, Rusdy Toana muncul di posko KKN. Ia duduk bersama mahasiswa, bercengkerama layaknya seorang ayah dengan anak-anaknya. Persoalan lahan ternyata sudah selesai secara kekeluargaan. Mahasiswa pun diperbolehkan melanjutkan pagar.

“Tidak ada sedikit pun amarah. Raut wajahnya teduh, suaranya datar tapi penuh wibawa. Itu pengalaman yang tidak pernah saya lupakan,” kata Rajindra.

Kisah lain yang membekas adalah ketika mahasiswa berencana menanam pohon. Masing-masing dua puluh pohon di dalam kampus.

Rusdy Toana mendengar rencana itu, lalu memberi saran, “Jangan hanya di dalam kampus. Tanam juga di jalan, sampai ke arah pantai. Supaya masyarakat juga merasakan manfaatnya.”

Akhirnya, mahasiswa menanam dua puluh pohon per orang di dalam kampus dan sepuluh pohon per orang di luar. Hasilnya, suasana kampus perlahan berubah lebih hijau, sementara masyarakat sekitar juga menikmati rindangnya pepohonan.

Salah satu keputusan penting yang diambil Rusdy Toana adalah pembangunan masjid. Pemerintah pusat saat itu memberi bantuan untuk masjid kampus. Banyak yang berpendapat masjid sebaiknya dibangun di tengah-tengah kampus.

Namun Rusdy Toana memilih lokasi di pinggir jalan Hangtuah. Keputusan itu sempat membuat bingung. Termasuk Rajindra yang sempat bertanya-tanya.

“Beliau melihat jauh ke depan. Dengan masjid di tepi jalan, bukan hanya mahasiswa, tapi masyarakat umum juga bisa memanfaatkannya. Selain itu, masjid menjadi simbol syiar. Kalau ada yang marah karena pembangunan kampus, melihat masjid hatinya jadi teduh,” kata Rajindra.

Masjid itu kini dikenal dengan nama Masjid Ulil Albab, menjadi ikon sekaligus pusat kegiatan spiritual di Unismuh Palu.

Menjadi Dosen Yayasan Pertama

Setelah lulus pada 1990, Rajindra diminta langsung oleh Rusdy Toana untuk menjadi dosen. Keputusan itu bukan tanpa alasan. Saat itu, tenaga pengajar di Fakultas Ekonomi sebagian besar masih diisi dosen dari luar, seperti Untad dan STAIN Datokarama.

Hal ini berawal atas rekomendasi Indokote dan Markusir ke Rusdy Toana, dan Rusdy Toana menyetujui dengan alasan Rajindra sebagai kader. Bahkan kala itu Rusdy Toana terkesan sedikit memaksa agar Rajindra jadi dosen di kampus ini.

“Pak Rusdy bilang, Rajindra harus jadi dosen. Kita butuh kader. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan mengisi kampus ini,” ungkap Rajindra.

Ia pun menerima SK sebagai dosen dengan penuh keraguan, karena saat itu dirinya juga berstatus sebagai PNS di BKKBN Donggala. Namun Rusdy Toana meyakinkan bahwa tidak ada aturan yang melarang seorang PNS mengajar di kampus swasta.

Empat tahun kemudian, pada 1994, Rajindra kembali mendapat SK dari Badan Pembina Harian (BPH). Tahun berikutnya, namanya diajukan sebagai calon dekan. Tetapi ia menolak karena merasa masih minim pengalaman. Keputusan itu didukung oleh Rusdy Toana. “Biarkan Rajindra matang dulu,” kata sang rektor kala itu.

Menariknya, di awal kariernya sebagai dosen, Rajindra menolak menerima gaji dari yayasan. Alasannya sederhana, ia sudah mendapat gaji sebagai PNS di BKKBN Donggala. “Saya merasa cukup. Saya tidak mau mengambil hak dari kampus,” katanya.

Kesederhanaan Sang Rektor

Rajindra menggambarkan Rusdy Toana sebagai sosok yang sangat sederhana. Hidupnya tidak berlebihan, bahkan sebagai rektor ia tidak memperlihatkan fasilitas yang mentereng.

“Beliau memimpin bukan untuk mencari penghidupan. Beliau betul-betul mengabdikan diri di dunia pendidikan,” tutur Rajindra.

Kesederhanaan itu tercermin juga dalam sikapnya terhadap bawahan. Ia tidak pernah marah. Jika ada kesalahan, cukup dengan nasihat. “Saya tidak pernah lihat beliau marah. Semua diselesaikan dengan nasehat dan keteduhan,” katanya.

Kedekatan Rajindra dengan Rusdy Toana tidak hanya terbatas di kampus. Saat ia menikah pada 1992, Rusdy Toana hadir sebagai perwakilan keluarga sekaligus menyampaikan nasehat pernikahan. Bahkan, dalam sambutannya, ia sempat berkelakar, “Rajindra ini dari India, kuliah di Unismuh, jadi dosen di Unismuh, dan kawin dengan mahasiswinya sendiri.”

Candaan itu melekat kuat di ingatan Rajindra, menjadi bukti bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar dosen dan rektor, tetapi sudah seperti ayah dan anak.

Strategi Kaderisasi

Salah satu warisan terbesar Rusdy Toana adalah strategi kaderisasi. Ia mendatangkan dosen-dosen dari Untad dan STAIN untuk membantu mengajar di Unismuh Palu. Namun secara diam-diam, ia meminta kader muda Unismuh belajar dari mereka.

“Itu strategi cerdas. Saya belajar banyak dari dosen Untad dan STAIN. Walau mereka tidak tahu, saya mengamati cara mereka mengajar, administrasi, dan kearsipan. Itulah strategi Pak Rusdy menyiapkan kader,” kenang Rajindra.

Mewarisi Kepemimpinan

Saat menjadi rektor pada 2017, Rajindra berusaha meneladani gaya kepemimpinan Rusdy Toana. Kesederhanaan, ketegasan yang teduh, dan visi strategis menjadi pegangan. Namun ia juga melakukan penyesuaian dengan perkembangan zaman.

“Kalau beliau selalu kalem, saya pakai manajemen situasional. Kalau sudah berkali-kali salah, ya harus keras juga. Karena zaman berbeda, tantangan juga berbeda,” jelasnya.

Hasilnya, Unismuh Palu yang semula tidak memiliki akreditasi, kini berhasil meraih Akreditasi Baik Sekali pada 2022. Sebuah capaian historis karena menjadi kampus pertama di Sulawesi Tengah dengan predikat tersebut.

Menuju Masa Depan

Kini, Unismuh Palu tengah berjuang membuka Fakultas Kedokteran dan membangun rumah sakit pendidikan. Target besar berikutnya adalah meraih akreditasi “Unggul” pada 2027.

Bagi Rajindra, semua pencapaian ini adalah bagian dari melanjutkan mimpi besar yang diwariskan oleh Rusdy Toana. “Beliau ingin kampus ini maju di tangan kader. Itu cita-cita beliau. Dan kami akan berjuang untuk mewujudkannya,” jelasnya.**