Berdasarkan data pada Dinas Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah, menyebutkan dalam sepuluh tahun terakhir, Parigi Moutong telah kehilangan lebih dari 1.200 hektare hutan mangrove akibat alih fungsi lahan dan pembalakan liar.
Selain itu, pencemaran air sungai meningkat tajam karena limbah domestik akibat aktivitas tambang ilegal. Di mana, dampaknya sudah terlihat jelas. Mulai dari berkurangnya populasi ikan, meningkatnya abrasi pantai, hingga ancaman banjir tahunan yang kini membayangi banyak wilayah.
“Kita tidak bisa hanya bergantung pada kebijakan pemerintah. Kesadaran pribadi seperti tidak ikut terlibat merusak lingkungan dan sadar membuang sampah pada tempatnya, adalah langkah awal yang penting,”tegas Leo.
Sebelumnya, ia menjelaskan, sejak awal terbentuknya FKPAPT yaitu pada 4 Juni 2003, kampanye dan aksi nyata menjaga lingkungan dari kerusakan terus dilaksanakan di kawasan pegunungan dan pesisir pantai. Baik melalui platform media sosial, sosialisasi bersama masyarakat, serta penanaman pohon.
Bahkan hingga saat ini, kata ia, seluruh organisasi maupun lembaga pegiat lingkungan yang tergabung dalam FKPAPT, masih aktif menjalankan program pelestarian anggrek di hutan Taopa Utara, dan ‘Satu Juta Mangrove untuk Teluk Tomini’ yang telah terealisasi di sejumlah titik pesisir di wilayah Parigi Moutong.