Namun jauh dari pertemuan itu, usai mediasi, saat ditanyai, Salim mengaku rindu pulang. Ia rindu kampung halamannya. Kakaknya di kampung bahkan sampai dibuat pusing bagaimana harus mengeluarkan adiknya di Morowali dengan masalahnya.
Salim menceritakan, dia putus sekolah sejak kelas 2 SMA di Ambon karena kekurangan biaya. Kakaknya yang lain pun serupa dengan nasibnya. Selama di Ambon ia menjadi nelayan. Membantu orangtuanya memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
“Kadang kalau ikan bagus kami bisa dapat Rp 100 ribu perhari,”ceritanya.
Lama-lama di kampung, nasib lalu mengantarnya ke Morowali bersama warga Ambon lainnya, ia menjadi buruh di perusahaan tersebut. Pekerjaanya mulai dari me-las besi, angkat besi dan mengecor.
Terhitung sejak umur 16 tahun, Salim mulai bekerja di perusahaan itu. Ia bahkan mulai kenal baik dengan orang-orang pihak perusahaan hingga tidak terasa satu tahun lebih telah bekerja. Di tahun 2025, masalah mulai muncul.
“Karyawan protes dan melakukan demonstrasi damai menuntut gaji yang belum dibayarkan,”ungkapnya.
Awalnya, ia tidak ingin ikut protes, tetapi lama-kelamaan, emosinya keluar juga saat menyadari orang-orang perusahaan yang sudah ia anggap teman itu, bersembunyi di dalam gedung. Tak satupun dari mereka yang keluar bahkan hanya sekedar menemui para karyawan yang protes.
Tersulut emosi, Ia pun ikut protes atas keterlambatan gaji. Dia kecewa dan menyadari orang-orang yang dianggap temannya itu, menyelamatkan dirinya masing-masing tanpa peduli dengan nasibnya dan kawan-kawannya. Akhirnya, Salim diamankan di Polres Morowali.