“Solusi yang pertama adalah untuk jangka menengah Pemerintah 13 kabupaten dan kota bisa berinisiatif membuat “Bulog Versi Daerah”. Ada praktiknya di Kabupaten Buol, ada Perda penyangga harga untuk komoditi jagung. Ketika harga tersebut naik tajam, Bulog Versi Daerah tadi ini bisa menyalurkan stoknya, tentunya mereka menyerap dulu, sistem buffer stock,adabatas harga; harga tertinggi dan harga terendah,” kata Ahlis Djirimu dalam Konferensi Pers APBN yang dilaksanakan DJPb Provinsi Sulteng di kantornya Jalan Tanjung Dako, Kota Palu, Selasa (6/5/2025).

Kata Ahlis, Pemda bisa membuat kebijakan pemenuhan permintaan domestik di Sulteng terlebih dahulu, sebelum memikirkan mendistribusikan stok beras yang telah diserap dari petani lokal. Dalam konteks ini, perlu ada kerja sama antara Pemda dan petani.

“Provinsi dan 13 kabupaten/kota bisa memayungi dengan cara penuhi dulu pasokan di dalam Sulteng, baru sisa stoknya bisa keluar. Praktiknya selama ini kan belum diterapkan. Tantangannya memang berat, kalau petani yang rasional pasti akan dia tentang habis-habisan,” tuturnya.

Solusi lainnya, lanjut Ahlis Djirimu, Pemda harus menggencarkan sosialisasi program diversifikasi pangan. Sebab, tidak bisa dipungkiri, masyarakat sangat tergantung pada beras alias monokultur yang menyebabkan permintaannya terus meningkat yang menyebabkan harga ikut merangkak jika stoknya kurang.

“Ketergantungan kita pada monokultur beras sangat tinggi. Padahal sebenarnya, kalau kita melihat saya contohkan Kabupaten Buol itu, kulturnya kultur sagu, sekarang nyaris sudah tidak ada. Banggai, ada ubi banggai. Itu yang perlu digalakkan,” katanya. RHT