OLEH: M.Ricardo Handyantama Saputra

Korupsi sudah menjadi isu yang sering dibicarakan di Indonesia. Setiap ada pejabat yang tertangkap karena korupsi, masyarakat ramai-ramai mengecam dan menuntut hukuman berat. Pegawai negeri sipil (PNS) sering jadi sasaran tuduhan sebagai pelaku korupsi yang merugikan negara. Tapi ironisnya, di saat yang sama, banyak orang di masyarakat sendiri tidak sepenuhnya bersih dari perilaku tidak jujur. Ada yang menjarah truk buah yang kecelakaan di jalan, mengambil hak orang lain, pungli atau premanisme. Fenomena ini membuat kita bertanya-tanya, apakah sebagian orang hanya teriak korupsi karena belum ada kesempatan?

Korupsi tidak selalu tentang uang miliaran rupiah atau pejabat tinggi. Perilaku seperti mengambil barang dari truk yang terguling karena kecelakaan, memanfaatkan musibah orang lain untuk keuntungan pribadi, atau menyalahgunakan fasilitas publik juga termasuk bentuk korupsi dalam skala kecil. Misalnya, saat terjadi kecelakaan truk pengangkut buah di jalan raya, sering kali kita melihat orang-orang berkerumun bukan untuk membantu, melainkan untuk mengambil buah-buahan yang berserakan. Mereka merasa tidak bersalah karena menganggap barang tersebut “sudah rezeki”, padahal tindakan ini sama saja dengan mencuri. Atau saat suatu daerah terkena musibah, banyak justru orang-orang yang bukan terdampak musibah tetapi menjarah bantuan-bantuan untuk masyarakat yang terkena musibah tersebut. Ini adalah contoh nyata bagaimana masyarakat bisa saja melakukan tindakan serupa dengan yang mereka kecam dari para pejabat.

Mudah untuk menunjuk kesalahan orang lain, terutama pejabat yang memiliki kekuasaan. Tapi, apakah masyarakat sendiri benar-benar bebas dari perilaku serupa? Teriakan soal korupsi sering kali hanya menjadi ekspresi kemarahan atas ketidakadilan, tapi tidak selalu dibarengi dengan introspeksi. Ada orang yang mengecam pejabat korup, tapi di saat yang sama tidak ragu untuk mengambil kesempatan melakukan hal serupa jika diberi peluang. Bukan berarti membela pejabat tersebut, tentu saja kalau bisa dihukum mati jika ada yang melakukan korupsi, tetapi ini menunjukkan bahwa masalah korupsi bukan hanya soal jabatan atau kekuasaan, tapi juga soal integritas pribadi.

Budaya ketidakjujuran yang ada di masyarakat menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya terjadi di kalangan pejabat. Korupsi bisa tumbuh subur di mana saja jika masyarakat permisif terhadap perilaku tidak jujur, sekecil apa pun itu. Menjarah truk kecelakaan, memotong antrean, menghindari bayar pajak, atau menyalahgunakan fasilitas umum adalah contoh kecil yang mencerminkan sikap tidak jujur. Jika hal-hal seperti ini dianggap biasa, maka tidak heran jika korupsi dalam skala besar terus terjadi.

Jika kita ingin benar-benar memberantas korupsi, maka perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Mengkritik pejabat yang korup memang perlu, tapi lebih penting lagi memastikan bahwa kita sendiri tidak melakukan hal serupa dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan moral di keluarga dan lingkungan sekitar memiliki peran penting dalam membentuk karakter jujur. Selain itu, kesadaran untuk menjaga integritas dalam hal kecil pun harus terus dipupuk.

Fenomena teriak korupsi karena belum ada kesempatan menunjukkan bahwa masalah korupsi tidak hanya ada di kalangan pejabat, tapi juga di masyarakat luas. Jika kita ingin perubahan nyata, maka kita harus berani jujur, bahkan ketika tidak ada yang mengawasi. Karena pada akhirnya, integritas bukan soal apa yang kita katakan, tapi apa yang kita lakukan saat kesempatan datang. Mungkin saran dari penulis, kalau ada orang yang perilakunya merugikan orang banyak, lebih baik dimiskinkan hingga diasingkan ke suatu pulau yang minim fasilitas sekeluarga untuk memberikan efek jera.***

(Penulis adalah ASN di KPPN Tolitoli)