Akhirnya, MBG bukan soal benar atau salah, melainkan tentang bagaimana kita memahami pendidikan secara utuh. Meski antitesis bahwa keberadaan sepiring makanan bergizi gratis adalah pengakuan bahwa pendidikan bukan hanya transfer ilmu, tetapi juga bagian dari pemulihan martabat. Namun, ia harus kembali pada martabatnya sebagai praktik humanisasi, bukan sekadar program makan gratis yang mengubah anak-anak dari subjek pembelajaran menjadi objek belas kasihan.
Sekali lagi, tidak ada yang keliru dengan ide dasar MBG. Dalam era kapitalis yang mengubah segalanya menjadi komoditas, pemberian makan gratis adalah bentuk perlawanan bahwa makanan bukan untuk dijual, melainkan untuk mencerdaskan. Meski ide dasarnya mulia, implementasinya perlu dievaluasi agar tidak terjebak dalam logika instrumental. Ini hanya mungkin terjadi jika semua pihak—keluarga, sekolah, negara— bahu membahu dan bersatu dalam ethical project yang mengutamakan kehidupan di atas efisiensi.
MBG mungkin menjawab bagaimana anak tetap sekolah, tetapi selama sistem pendidikan tak direkonstruksi, kita hanya menciptakan generasi yang terpenuhi perutnya, tetapi kosong jiwanya. Pendidikan harus hadir untuk menciptakan dunia yang tidak perlu membuat murid harus memilih antara makan atau bermimpi.
Impian untuk menyediakan makanan bergizi gratis bagi semua pelajar barangkali adalah sebuah utopia. Dengan demikian, MBG perlu dipahami sebagai langkah awal, bukan akhir, dalam upaya menciptakan pendidikan yang holistik dan berkeadilan.
Penulis Warga Palu
Penulis Novel Ri Kapamulana