Oleh: Imaduddin FR.
Makan Bergizi Gratis (MBG) bisa dibilang menjadi salah satu kebijakan unggulan milik Presiden Prabowo. MBG dihadirkan demi mewujudkan visi Indonesia Emas 2024, khususnya dalam memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM). Bukan main-main, keberadaan kebijakan tersebut digadang-gadang untuk memastikan pemenuhan gizi masyarakat, mengatasi stunting, dan meningkatkan kualitas SDM. Namun, harapan besar terhadap MBG perlu dibaca lebih dalam: apakah pemenuhan gizi saja cukup untuk mewujudkan cita-cita pendidikan yang sesungguhnya?
Sekilas kebijakan MBG tampak sangat memberi harapan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2025. Sebab, pendidikan sejatinya ialah proses memanusiakan manusia yang mentransformasi potensi menjadi aktus. Potensi itu hanya dapat berkembang apabila kebutuhan dasar terpenuhi. Maka, pendidikan yang bermakna boleh jadi tidak mungkin lahir dari perut kosong. Apabila cara pandang kebijakannya berangkat dari filosofi semacam ini, bukan tidak mungkin jika MBG bukan sekadar kebijakan karikatif, melainkan prasyarat epistemik. Hal ini karena kelaparan merupakan bentuk penindasan yang membungkam suara kritis. Tanpa nutrisi, anak-anak hanya akan terjebak dalam ‘budaya bisu’, di mana otak sibuk mencari energi karena lapar, bukan pengetahuan.
Namun, di balik filosofi tersebut, MBG justru menuai kritik karena cenderung mengabaikan aspek non-materi dalam pendidikan. Kebijakan ini kerap dibingkai sebagai solusi ajaib untuk persoalan pendidikan. Dibalik gemerlap harapan dan wajah filosofisnya, tersimpan bentuk reduksionisme materialis yang mengabaikan kompleksitas pendidikan. Seolah-olah pendidikan sebagai proses pencerahan dan pencerdasan untuk menimbulkan keberanian berpikir mandiri terancam direduksi. Proses ini bukan sekadar hanya pemenuhan kebutuhan fisik semata, tetapi turut memberi asupan bagi jiwa dan pikiran.
Kekhawatiran ini semakin menguat ketika pendekatan material semacam itu mulai memengaruhi cara negara memperlakukan pendidikan.nKebijakan MBG, meski mulia, tersembunyi risiko yang mengubah pendidikan menjadi transaksi instrumental: “beri mereka makan, maka mereka akan belajar”. Padahal pendidikan bukan hanya soal mengisi perut, melainkan membangkitkan kesadaran kritis. Makan gratis dapat menjadi metafora sistem yang memandang manusia sebagai homo economicus— manusia yang dimaknai sekadar sebagai entitas ekonomi, hanya perlu distimulasi oleh insentif material.