Makan Bergizi Gratis, dengan segala mimpi Indonesia Emas dibaliknya, dapat menjadi alibi bagi negara untuk menghindari tanggung jawab membenahi sistem pendidikan apabila tidak dijalankan secara radikal –tanpa birokrasi korup atau stigmatisasi terhadap penerima. Pertanyaan kritisnya adalah apakah anak-anak murid harus terus disuapi makanan gratis sementara sistem ekonomi membiarkan orang tua mereka hidup dalam kemiskinan? Jangan sampai sekolah menjadi pabrik yang menggantikan peran keluarga dalam memastikan kesejahteraan anak. Apabila demikian, maka makan gratis hanya menjadi plester di atas luka borok kapitalisme.
Selain itu, masalah lain yang mengemuka adalah kesejahteraan guru. Ironisnya, guru dihadapkan pada paradoks eksistensi sebagai pendidik. Di satu sisi, mereka dibebani menjadi pahlawan pendidikan tanpa tanda jasa. Di sisi lain, guru terhinakan oleh sistem yang tak menghargai jerih payah mereka. Kebijakan MBG tanpa perbaikan kesejahteraan guru adalah pemujaan simbol tanpa substansi. Artinya, negara berpura-pura peduli pada anak-anak, sambil mengabaikan keberadaan para pendidik yang seharusnya menjadi tulang punggung proses belajar-mengajar.
Sementara itu, problematika lain yang menjangkit MBG ialah peningkatan kehadiran murid di sekolah yang kerap menjadi indikator tunggal keberhasilan pendidikan. Mungkin benar bahwa adanya MBG dapat meningkatkan partisipasi murid datang ke sekolah karena ada iming-iming seporsi makan gratis. Namun, ketika pendidikan direduksi pada sebatas angka partisipasi, pendidikan secara tidak langsung kehilangan esensinya sebagai ruang pembentukan karakter. Data mungkin menunjukkan bahwa anak-anak datang ke sekolah untuk makan, tetapi apa artinya jika murid yang bersekolah hanya menjadi ‘badan yang hadir’ tanpa keterlibatan kognitif. Jangan-jangan selama ini kebijakan dibuat hanya untuk memenuhi kevalidan secara teknis, tetapi kosong secara etis.
Realitas ini memperlihatkan bagaimana logika teknokratis telah mengerdilkan makna pendidikan dan peran sosial keluarga. Kondisi semacam ini menunjukkan bahwa segala sesuatu selalu dianggap selesai apabila berakhir di meja makan. Seakan pendidikan menunjukkan kasta dari para murid. Tentu yang lahir dari keluarga berada dan berkecukupan tak menganggap serius kebijakan tersebut. Sementara mereka kelompok marjinal tentu akan sangat bersyukur dengan program semacam ini. Maka, ketika negara hanya hadir di saat menyediakan makanan gratis di sekolah, secara tidak langsung ada pengakuan atas kegagalan pada sistem ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar. Ini sangat disayangkan, di saat negara memberi intervensi dengan program makan gratis, di saat yang sama pula kebijakan neoliberal seperti upah minimum yang rendah terus mendorong orang tua bekerja tak punya waktu guna menyiapkan makanan. Masyarakat, khususnya kelas marjinal, menjadi kehilangan norma kolektif. Sehingga negara harus hadir menggantikan peran yang seharusnya dilakukan oleh keluarga.
Program makan bergizi gratis merupakan cerminan masyarakat yang terjebak dalam logikal instrumental. Ia mengubah pendidikan dari proses pembebasan menjadi layanan administratif. Sekolah tidak lagi menjadi tempat lahirnya pertukaran ide dan pikiran, melainkan menjadi pabrik yang memproduksi ‘penerima bantuan’. Maka, untuk melampaui itu semua, perlu kembali diajukan pertanyaan kritis, bagaimana seandainya jika dana makan bergizi gratis dialihkan untuk menaikkan gaji guru, memperbaiki fasilitas, atau memberdayakan keluarga miskin? Apakah satu-satunya jalan menuju Indonesia Emas hanya melalui makanan bergizi gratis?