SULTENG RAYA – Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Kelompok Cipayung Plus menantang bakal calon (Balon) Gubernur Sulawesi Tengah untuk mengadu ide dan gagasan di hadapan mahasiswa.
Hal itu dikatakan Ketua Badko HMI Sulteng, Alif Veraldhi, mewakili Cipayung Plus dalam keterangan tertulis mereka, yang diterima Sulteng Raya, Ahad (26/5/2024).
“Kami mengundang dan menantang seluruh bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulteng untuk hadir di forum aktivis hahasiswa, menakar ide dan gagasan untuk membangun Sulteng kedepan. Kami tunggu kesiapannya!,” katanya.
Saat ini menurutnya, fenomena sosial kemasyarakatan di Sulteng cukup kompleks, bersentuhan langsung dengan pembedayaan dan sumber daya yang dimiliki daerah ini. Cipayung Plus menilai, calon pemimpin kedepan perlu merumuskan kebijakan strategis yang pro terhadap sumber daya manusia yang tersedia.
Menurutnya, Sulteng memiliki sumber daya alam melimpah, mulai dari nikel, emas, perkebunan sawit, pertanian, hingga perikanan (ekstraktivisme). Artinya, seharusnya lapangan kerja harus melimpah. Namun, hal itu dinilai tidak simetris dengan angka kemiskinan Sulteng yang masih saja meningkat.
Cipayung plus mengutip data Badan Pusat Statistik Provinsi Sulteng yang mencatat ada total 389,71 ribu penduduk miskisn perkotaan dan pedesaan atau 12,81 persen dari jumlah penduduk pada Desember 2023.
Lantas, apa yang jadi penyebab hal itu?. Ada beberapa poin yang dirumuskan Cipayung Plus mengamati fenomena tersebut.
Pertama, ketergantungan terhadap ekstraktivisme SDA berorientasi pada ekspor dalam bentuk bahan mentah, tentu saja sedikit jalinan dengan sektor ekonomi yang lain. Ini yang menyebabkan booming di sektor SDA tidak mengerek sektor lain.
Kedua, ekstraktivisme tidak padat karya. Tidak membutuhkan partisipasi pekerja dalam jumlah besar. Sehingga, ledakan investasi di sektor ekstraktif terkadang tidak menyumbang perluasan lapangan kerja.
Selain itu, di beberapa sektor ekstraktif tidak terlalu membutuhkan SDM yang tinggi. Alhasil, Sulteng kerap tidak serius melakukan investasi untuk menciptakan tenaga kerja terampil. Tidak serius memajukan kualitas sumber daya manusianya.
Namun juga, dibeberapa sektor pengolahan SDA mineral dan fosil seperti pertambngan dan migas seringkali mendatangkan pekerja dari luar daerah seperti wilayah Jawa karena kompetensi lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan di Sulteng masih jauh dari standar kompetensi yang ditetapkan oleh industri.
Tenaga kerja yang qualified dan certified sulit diperoleh oleh sebagian besar industri sehingga meningkatkan angka pengangguran di wilayah tapak proyek. Ditambah mahalnya biaya pendidikan dan kursus/sertifikasi di luar daerah.
“Kita belum mampu mengikuti standar kompetensi yang dibutuhkan oleh industri nasional. Sehingga seringkali para calon pekerja mengikuti kursus K3, Sertifikasi izin Oprator dan lain-lain, harus keluar daerah. Sejauh ini Balai Latihan Kerja Dan Peningkatan Produktivitas yang di kelola pemerintah tidak berstandar kompetensi yang ditetapkan oleh industri,” katanya.
Ketiga, kegiatan ekstraktivisme, seperti tebang, gali, dan ekstraksi, berpotensi mengganggu lingkungan. Kebutuhan lahan yang luas juga mendorong alih-fungsi lahan secara besar-besaran. Tak bisa dimungkiri, tingginya konflik agraria di Sulteng hampir di seluruh kabupaten dengan industri ekstraktif terjadi gejolak perlawanan.
Empat, untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan itu, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
“Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Intinya standarisasi kemiskinan yang dilihat dari outcame dan tidak mengacu pada income ini juga menjadi salah satu penyebab tidak efektifnya program penuntasan kemiskinan. Ditambah lagi dalam penuntasan kemiskinan anggaran bersumber dari pendapatan negara bukan dari hasil pendapatan daerah,” ungkapnya.
Lima, perusahaan daerah (Perusda) belum berjalan maksimal. Dalam beberapa kasus kemiskinan di Sulteng juga di sebabkan oleh tingginya perusahaan dari luar daerah yang menjadi sub kontraktor dan sapplier di industri-industri besar seperti migas dan pertambangan di Sulteng yang mengakibatkan putaran ekonomi mengalir ke luar daerah.
Sementara, Sulteng memiliki kapasistas dan Sumberdaya yang cukup. Tidak heran jika wilayah tapak proyek juga masih menjadi penyumbang angka kemiskinan cukup besar. Kabupaten Banggai dengan industri migasnya juga masuk dalam data kemiskinan ekstrem 2023.
“Kelompok Cipayung Plus Sulteng berharap ini menjadi perhatian dan gerakan kolektif untuk membangun Sulteng menjadi kekuatan yang mampu melindungi kepentingan masyarakat, khususnya kelas bawah di tengah gempuran sistem ekonomi kapitalis sembari terus melahirkan generasi-generasi muda yang transformatif sehingga mampu mengintervensi arus perubahan zaman,” tutupnya. RHT