SULTENG RAYA – Seorang istri dari anggota Polri berpangkat Ipda SA yang berdinas di Polresta Palu, membantah suaminya telah melakukan pemalsuan akta cerai.
Hal itu disampaikan istri sah Ipda SA yang diketahui bernama Rita didampingi tim penasehat hukum saat konferensi pers beberapa waktu lalu.
Diketahui, terkait viralnya di beberapa media yang dialami Ipda SA dengan sangkaan pasal 266 (2) KUHP tentang pemberian keterangan palsu ke dalam sesuatu akta autentik dan pasal 378 tentang penipuan dengan pelapor saudari SR (istri sirih Ipda SA) saat ini sudah dinyatakan P-21 oleh Kejaksaan Negeri Watampone.
Mahmud, S.H.,M.H selaku penasehat hukum beserta timnya mengklarifikasi terkait pelimpahan P-21 Ipda SA dari kepolisian ke kejaksaan dengan sangkaan pasal 266 ayat 2 dan 378.
Mahmud menyampaikan, SR atau pelapor baru mengetahui Ipda SA telah menikah secara sah atau memiliki istri sah pada saat pelantikan sebagai perwira pada bulan Oktober 2022 lalu. “Perlu kami sampaikan bahwasanya hal tersebut adalah tidak benar, artinya keterangan ini dibuai kronologisnya membuat berita acara di kepolisian,” tegasnya.
Adapun hal-hal yang perlu diklarifikasi kata Mahmud, bahwasanya sebetulnya SR sudah mengetahui Ipda SA sudah memiliki istri yang sah sebelum mereka melangsungkan perkawinan secara sirih pada September 2016. “Jadi mereka melangsungkan perkawinan secara sirih itu pada bulan September 2016, sebelumnya itu SR sudah tau bahwasanya Ipda SA sudah mempunyai istri dan juga sempat berkomunikasi dengan istri sah Ipda SA,” katanya.
Kemudian informasi tentang itu lanjutnya, sudah pernah juga disampaikan oleh imam yang akan menikahkan Ipda SA dan SR secara sirih. Kata imam itu, bahwa Ipda SA bisa dilangsung menikah secara sirih karena Ipda SA masih memiliki istri yang sah.
Ditempat yang sama, Rita sebagai istri sah Ipda SA mengatakan, laporan yang dilaporkan SR itu tidak benar. “Karena sebelum terjadi pernikahan tahun 2016, yang mana saya telah memberi kabar kepada SR melalui telepon bahwa saya istrinya, jangan ber-WA lagi karena saya tidak suka,” ucap Rita.
Pada tanggal 16 September 2016 lanjut Rita, imam yang menikahkan secara siri pelapor SR dengan Bripka (saat itu masih pangkat Bripka) SA memberi tahu bahwa pernikahan belum keluar surat nikahnya karena SA belum cerai secara resmi, artinya masih mempunyai istri yang sah. Kemudian, tiba-tiba di bulan Desember 2016, SR sempat datang ke Luwuk tapi cuma menginap di penginapan.
Selanjutnya, pada bulan Juni tahun 2021, pelapor SR mengirim uang sejumlah Rp150.000.000 ke rekening SA untuk diserahkan kepada Rita untuk menceraikan suaminya SA, kemudian Rita menelpon kepada pelapor SR dengan mengatakan “Apakah uang 150 juta itu untuk supaya saya jual depe laki?,” ucap Rita, lalu pelapor SR kemudian mengiyakannya.
Lalu Rita pada mulanya bermaksud mendatangi tempat kediaman pelapor SR untuk memberitahu langsung kepada yang bersangkutan bahwa dirinya adalah istri yang sah dan kepada pelapor SR untuk tidak mengganggu rumah tangganya dengan suaminya SA. “Akan tetapi untuk menghindari keributan yang mempengaruhi karir suami, maka saya mengambil sikap diam,” ucapnya.
Rita juga membeberkan, ternyata yang mengurus N1, N2, N3 dan N4 sebagai dokumen-dokumen persyaratan perkawinan adalah pelapor SR, yang mana dokumen persyaratan tersebut tidak ada pendukungnya seperti Foto Copy KK, KTP surat keterangan dari kelurahan sesuai alamat KTP pemohon, sehingga patut diduga SR sendiri dalam pembuatan N1, N2, N3, dan N4 yang isinya palsu.
“SR juga memberikan uang sejumlah Rp10 juta kepada Ipda SA untuk melamar SR, supaya Ipda SA dapat menikahi SR dan SR sudah menyiapkan seluruh proses pernikahan sirih tersebut,” ujar Rita.
Yang menjadi persoalan kata Rita, adalah akta nikah tersebut belum jadi dibuat dan dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, sehingga tidak terpenuhinya kedalam akta otentik sedangkan akta otentiknya saja tidak ada. “Seharusnya yang berhak membuat laporan pengaduan kepada Polres Bone tentang Pasal 266 ayat (2) KUHP seharusnya adalah saya selaku istri sah dari Ipda SA bukan SR, sedangkan SR tidak berhak untuk membuat laporan karena hanya sebagai istri sirih bukan istri yang sah,” tegasnya.
Dikatakannya, Kepala KUA setempat tidak dapat memproses pendaftaran perkawinan dengan cara mengeluarkan akta nikah, karena Ipda SA masih belum cerai dengan istrinya (Rita), sehingga pernikahan tersebut dilakukan dengan cara pernikahan sirih, dengan demikian SR sudah tahu bahwa proses perceraian Ipda SA dengan istrinya belum dilaksanakan.
Rita juga menjelaskan, uang sejumlah Rp55 juta yang menurut pelapor untuk mengurus surat tugas ke Bone, uang tersebut telah dikembalikan pertama sebesar Rp15 juta dan kemudian berturut sampai dengan tahun 2021, Ipda SA mengirim uang sejumlah Rp105.000.000 kepada SR, sehingga tidak ada unsur kerugian yang diderita oleh pelapor SR sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada penipuan dan pemalsuan surat yang dilakukan oleh Ipda SA. */YAT