Oleh: Saeful Ihsan, S.Pd.I, M.Pd
(Ketua Pemuda Muslimin Sulawesi Tengah)

bukan hal baru, bahkan orang non-Islam pun tahu bahwa setiap tahunnya umat Islam memiliki bulan untuk muslim berpuasa, yaitu bulan Ramadan. Bulan yang di dalamnya penuh rahmat, pahala dilipatgandakan, serta pelbagai amalan pilihan disediakan khusus yang tidak terdapat di bulan-bulan lain, seperti salat tarawih, sahur dan berbuka, serta berkah malam nuzulul Qur’an.

Dengan demikian, ramadan sudah menjadi rutinitas yang dilandasi oleh ketentuan syariat. Setiap tahunnya umat muslim melewati bulan ini. Tidak jarang setelahnya mereka mengalami peningkatan kualitas diri meliputi spiritual, emosional, maupun intelektual, akibat melaksanakan ibadah serta amalan-amalan di dalamnya.

Adapula yang begitu usai ramadan tidak bertambah kualitas dirinya, seperti yang disebut dalam hadis sebagai “… tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan dahaga” dari puasanya. Bahkan tak jarang pula ditemukan muslim yang tidak melaksanakan ibadah puasa. Antara lain disebabkan oleh alasan pekerjaan, alasan sakit (yang sesungguhnya masih berkemampuan melaksanakan), hingga alasan belum ber-Islam dengan baik.

Dasar pelaksanaan puasa memang bukanlah berangkat dari tujuan rasional bagi manusia. Puasa diperintahkan semata karena alasan ketaatan, sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa”.

Hal ini diperkuat dalam sebuah hadis qudsi: “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.'”

Namun begitu, umat muslim dapat memaknai dan menafsirkan perintah puasa itu berdasarkan pengalamannya dalam berpuasa. Misalnya dari puasa yang diperintahkan hanya demi ketaatan itu, ternyata bisa dimaknai berguna bagi kesehatan jasmani dan mental umat muslim.

Kesehatan jasmani dapat diteliti dari sudut pandang kedokteran, bagaimana puasa dapat menyehatkan organ-organ dalam manusia. Sedang kesehatan mental, puasa dapat menekan amarah, mengendalikan hawa nafsu, serta menahan diri dari sikap tergesa-gesa.

Cak Nur (Nurcholish Madjid) dalam bukunya “30 Sajian ruhani” memaknai puasa sebagai pengendalian diri dalam hal ketamakan, dengan mengajukan narasi kejatuhan Adam dan Hawa sebagai gambarannya. Bahwa pohon khuldi yang harus dijauhi adalah pohon ketamakan, mereka masih mau menjangkaunya padahal mereka sudah diberi pelbagai kenikmatan oleh Allah di surga.

Pengendalian diri dan ketamakan adalah dua kata kunci dari Cak Nur yang menarik untuk diulas. Pertama, pengendalian diri dalam puasa mewakili ciri khas amalan dalam Islam. Dalam hal puasa, anggota tubuh (biologis) dipuasakan demi terwujudnya diri (psikis) yang terkendali.

Ciri ini juga melekat pada amalan lain, misalnya tubuh digerakkan dalam salat demi mencapai ketenangan batin (setelah berhubungan dengan sang Khalik). Juga misalnya dalam , sedekah, dan , yang mensyaratkan unsur materil dalam hidup, namun tujuannya adalah menyucikan jiwa.

Hal ini menerangkan bahwa ajaran Islam tidak memisahkan unsur spiritual dan material, lalu mengunggulkan yang satu diunggulkan atas yang lainnya. Melainkan keduanya adalah rangkaian yang satu padu. Peningkatan spiritual mesti dengan syarat adanya latihan secara jasmani (riyadhah).

Pengendalian diri juga dimaksudkan agar lebih kuat dalam menghadapi godaan setan. Bagi manusia modern, mungkin tidak lagi pada tempatnya melukiskan setan sebagai person yang tak kasat mata. Setan kini sudah dalam bentuk materi, misalnya gawai, yang selalu menggoda manusia untuk menyebar hoaks, ujaran kebencian, serta terlibat adu argumen yang berujung pada caci maki. Pada akhirnya dosa mencela dengan lisan (mulut) beralih menjadi dosa karena mencela dengan rangkaian kata-kata di medsos.

Kata kunci yang kedua adalah tamak. Ketamakan terdapat pada setiap level kehidupan manusia. Pada anak-anak, ketamakan itu berwujud kurang puas memiliki satu mainan dan menginginkan mainan yang lebih banyak. Pada orang dewasa, tidak puas dengan satu jabatan dan ingin menduduki jabatan yang lebih tinggi.

Dalam tingkat spesies, manusia yang juga disebut sebagai Homo Sapiens, sifat dasarnya adalah rakus. Sepanjang sejarahnya, Manusia adalah makhluk yang mencaplok seluruh sumberdaya alam demi kelangsungan hidupnya. Hewan dan tumbuh-tumbuhan didomestikasi secara besar-besaran, lalu manusia menjadi penguasa di atas seluruh makhluk.

Manusia memang makhluk , yang kehidupannya sangat bergantung pada keberadaan manusia lainnya. Namun ketamakan menyebabkan manusia terbiasa berlaku egois, tidak memikirkan orang lain. Jika hidup bertetangga, cenderung tidak menghormati tetangga. Jika menjadi pemimpin, maka dalam pembuatan kebijakan selalu berpikir akan keuntungan yang akan diperoleh, dan tidak lagi memikirkan dampaknya bagi masyarakat luas.

Maka dari itu ramadan adalah momentum latihan pengendalian diri, membebaskan diri dari sikap tamak, di mana sikap itu merupakan dorongan hawa nafsu. Diharapkan dengan menjalani puasa selama satu bulan penuh, seseorang dapat terbebas dari godaan setan, yang secara nyata wujudnya adalah ketamakan yang merugikan diri sendiri dan juga orang lain. ***

Ramadan bukan hal baru, bahkan orang non-Islam pun tahu bahwa setiap tahunnya umat Islam memiliki bulan untuk muslim berpuasa, yaitu bulan Ramadan. Bulan yang di dalamnya penuh rahmat, pahala dilipatgandakan, serta pelbagai amalan pilihan disediakan khusus yang tidak terdapat di bulan-bulan lain, seperti salat tarawih, sahur dan berbuka, serta berkah malam nuzulul Qur’an.

Dengan demikian, ramadan sudah menjadi rutinitas yang dilandasi oleh ketentuan syariat. Setiap tahunnya umat muslim melewati bulan ini. Tidak jarang setelahnya mereka mengalami peningkatan kualitas diri meliputi spiritual, emosional, maupun intelektual, akibat melaksanakan ibadah serta amalan-amalan di dalamnya.

Adapula yang begitu usai ramadan tidak bertambah kualitas dirinya, seperti yang disebut dalam hadis sebagai “… tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan dahaga” dari puasanya. Bahkan tak jarang pula ditemukan muslim yang tidak melaksanakan ibadah puasa. Antara lain disebabkan oleh alasan pekerjaan, alasan sakit (yang sesungguhnya masih berkemampuan melaksanakan), hingga alasan belum ber-Islam dengan baik.

Dasar pelaksanaan puasa memang bukanlah berangkat dari tujuan rasional bagi manusia. Puasa diperintahkan semata karena alasan ketaatan, sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa”.

Hal ini diperkuat dalam sebuah hadis qudsi: “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.'”

Namun begitu, umat muslim dapat memaknai dan menafsirkan perintah puasa itu berdasarkan pengalamannya dalam berpuasa. Misalnya dari puasa yang diperintahkan hanya demi ketaatan itu, ternyata bisa dimaknai berguna bagi kesehatan jasmani dan mental umat muslim.

Kesehatan jasmani dapat diteliti dari sudut pandang kedokteran, bagaimana puasa dapat menyehatkan organ-organ dalam manusia. Sedang kesehatan mental, puasa dapat menekan amarah, mengendalikan hawa nafsu, serta menahan diri dari sikap tergesa-gesa.

Cak Nur (Nurcholish Madjid) dalam bukunya “30 Sajian ruhani” memaknai puasa sebagai pengendalian diri dalam hal ketamakan, dengan mengajukan narasi kejatuhan Adam dan Hawa sebagai gambarannya. Bahwa pohon khuldi yang harus dijauhi adalah pohon ketamakan, mereka masih mau menjangkaunya padahal mereka sudah diberi pelbagai kenikmatan oleh Allah di surga.

Pengendalian diri dan ketamakan adalah dua kata kunci dari Cak Nur yang menarik untuk diulas. Pertama, pengendalian diri dalam puasa mewakili ciri khas amalan dalam Islam. Dalam hal puasa, anggota tubuh (biologis) dipuasakan demi terwujudnya diri (psikis) yang terkendali.

Ciri ini juga melekat pada amalan lain, misalnya tubuh digerakkan dalam salat demi mencapai ketenangan batin (setelah berhubungan dengan sang Khalik). Juga misalnya dalam zakat, sedekah, dan infak, yang mensyaratkan unsur materil dalam hidup, namun tujuannya adalah menyucikan jiwa.

Hal ini menerangkan bahwa ajaran Islam tidak memisahkan unsur spiritual dan material, lalu mengunggulkan yang satu diunggulkan atas yang lainnya. Melainkan keduanya adalah rangkaian yang satu padu. Peningkatan spiritual mesti dengan syarat adanya latihan secara jasmani (riyadhah).

Pengendalian diri juga dimaksudkan agar lebih kuat dalam menghadapi godaan setan. Bagi manusia modern, mungkin tidak lagi pada tempatnya melukiskan setan sebagai person yang tak kasat mata. Setan kini sudah dalam bentuk materi, misalnya gawai, yang selalu menggoda manusia untuk menyebar hoaks, ujaran kebencian, serta terlibat adu argumen yang berujung pada caci maki. Pada akhirnya dosa mencela dengan lisan (mulut) beralih menjadi dosa karena mencela dengan rangkaian kata-kata di medsos.

Kata kunci yang kedua adalah tamak. Ketamakan terdapat pada setiap level kehidupan manusia. Pada anak-anak, ketamakan itu berwujud kurang puas memiliki satu mainan dan menginginkan mainan yang lebih banyak. Pada orang dewasa, tidak puas dengan satu jabatan dan ingin menduduki jabatan yang lebih tinggi.

Dalam tingkat spesies, manusia yang juga disebut sebagai Homo Sapiens, sifat dasarnya adalah rakus. Sepanjang sejarahnya, Manusia adalah makhluk yang mencaplok seluruh sumberdaya alam demi kelangsungan hidupnya. Hewan dan tumbuh-tumbuhan didomestikasi secara besar-besaran, lalu manusia menjadi penguasa di atas seluruh makhluk.

Manusia memang makhluk sosial, yang kehidupannya sangat bergantung pada keberadaan manusia lainnya. Namun ketamakan menyebabkan manusia terbiasa berlaku egois, tidak memikirkan orang lain. Jika hidup bertetangga, cenderung tidak menghormati tetangga. Jika menjadi pemimpin, maka dalam pembuatan kebijakan selalu berpikir akan keuntungan yang akan diperoleh, dan tidak lagi memikirkan dampaknya bagi masyarakat luas.

Maka dari itu ramadan adalah momentum latihan pengendalian diri, membebaskan diri dari sikap tamak, di mana sikap itu merupakan dorongan hawa nafsu. Diharapkan dengan menjalani puasa selama satu bulan penuh, seseorang dapat terbebas dari godaan setan, yang secara nyata wujudnya adalah ketamakan yang merugikan diri sendiri dan juga orang lain. ***