Oleh: Abdul Hanif ibn Djaiz Mardjengi
(Sekretaris Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Tengah)
Alhamdulillah Rabbil Aalamin dan shalawat serta salam, semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, beserta para sahabat dan pengikutnya yang tetap memegang teguh komitmen tauhidnya, hingga ajal menjemput.
Tidak terasa, perjalanan Ramadan 1444 H telah melewati pertengahan dan tidak lama lagi akan sampai ke finish. Makin mendekati etape terakhir perjalanan Ramadan, tampaknya makin kuat pula godaan duniawi. Semangat beribadah juga tampak mulai lesu. Kini kita malah disibukkan dengan persiapan Idul Fitri.
Padahal, Rasulullah SAW dalam sabdanya, sebagaimana hadist yang diriwayatkan dari Aisyah RA, Rasulullah SAW sangat bersungguh-sungguh (beribadah) pada 10 hari terakhir (bulan Ramadan), melebihi kesungguhan beribadah di selain (malam) tersebut, (HR. Muslim).
Dalam hadist lain yang juga berasal dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW biasa ketika memasuki 10 Ramadan terakhir, beliau kencangkan ikat pinggang (bersungguh-sungguh dalam ibadah), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah, (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Menjelang akhir Ramadan, hendaknya kita justru makin menggiatkan ibadah. Seluruh amalan sunnah, jangan sampai ada yang dilewatkan. Apalagi amalan fardu ain yang mestinya makin ditingkatkan kualitasnya. Intensitas sedeqah juga makin ditingkatkan. Intinya, kita berlomba-lomba mengumpulkan amalan-amalan baik. Mungkin saja, ini adalah Ramadan terakhir bagi kita. Maka kita jangan sia-siakan kesempatan ini untuk sebanyak-banyak meraup pahala.
Menjelang akhir bulan Ramadan, derajat pahala yang Allah berikan pada umatnya semakin tinggi. Artinya, semakin banyak kamu beribadah dan beramal di hari-hari terakhir menjelang berakhirnya Ramadan, maka semakin banyak pula pahala yang akan kamu terima.
Salah satu amalan yang sangat dianjurkan dilakukan di sepuluh hari terakhir Ramadan adalah i’tikaf atau berdiam diri di masjid sambil melakukan kegiatan yang bernilai ibadah. I’tikaf walaupun merupakan amalan sunnah, namun amalan ini, tidak pernah Rasulullah tinggalkan atau selalu beliau amalkan selama hidupnya.
Hal ini, berdasarkan hadist yang diriwayatkan Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: bahwa Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. Muttafaqun ‘alaih.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di antara keutamaan I’tikaf, kita akan lebih focus untuk bisa bertemu dengan malam penuh kemuliaan, Lailatul Qadar. Sebab untuk bisa bertemu Lailatul Qadar, kita harus memperbanyak ibadah di kala malam. Dengan melakukan i’tikaf, kita akan lebih bisa fokus melakukan banyak kegiatan ibadah tersebut, seperti membaca Alquran dan tafsirnya, berzikir, salat qiyamul lail, dan kegiatan bermanfaat lain. Insya Allah jika kamu beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadan, kamu bisa lebih berpeluang berjumpa dengan malam Lailatul Qadar.
Dalam karyanya Fath al-Qarib al-Mujib, Syaikh Muhammad bin Qasim al-Ghazi menjelaskan, bahwa melakukan i’tikaf di 10 hari terakhir di bulan Ramadan lebih utama dibandingkan waktu lainnya. Karena, pada 10 hari terahir Ramadan terdapat malam yang begitu mulia, yaitu Lailatul Qadar.
Dilansir dari web umroh.com, disebutkan bahwa I’tikaf merupakan bentuk usaha seorang hamba untuk menahan diri dari kesenangan dunia, mendorong diri untuk taat kepada Allah SWT serta mencurahkan waktunya hanya untuk beribadah kepada Allah SWT.
Ada beberapa keutamaan I’tikaf, di antaranya, mencari malam Lailatul Qadar. Sunnah-nya dilakukan kapan saja, dan sangat disunnahkan pada 10 hari terakhir di bulan Ramadan untuk itikaf. Hal ini dimaksudkan untuk mencari lailatul Qadar, dimana amal yang dilaksanakan pada malam itu memiliki nilai lebih dibandingkan amal-amal yang dilakukan di malam-malam lainnya.
Orang yang i’tikaf akan terjaga dari perbuatan maksiat. Juga bisa membantu kita untuk bisa melaksanakan shalat, puasa, dan tadabur Al-Quran dengan tetap khusyuk dan tumaninah sehingga tak sempat melakukan perbuatan maksiat.
Orang yang i’tikaf akan dijauhkan dari neraka jahanam. Ada yang menyebutkan bahwa orang yang beritikaf dijauhkan dari neraka jahanam sejauh tiga parit. Menurut Al-Kandahlawi jarak satu parit itu lebih jauh dari pada jarak antara langit dan bumi.
Membantu menguatkan shalat dengan khusyuk. Shalat dengan khusyuk mungkin sulit kita dapatkan ketika terus memikirkan dunia, dengan demikian kita harus mencari ketenangan dengan I’tikaf di masjid agar bisa khusyuk beribadah.
Beruntung karena mendapatkan shaf pertama berjamaah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, Seandainya manusia mengetahui apa yang ada (yaitu keutamaan) di dalam seruan (adzan) dan shaf pertama, lalu mereka tidak bisa mendapatkan shaf tersebut kecuali dengan undian, sungguh mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari 580).
Mendapatkan pahala menunggu datangnya waktu shalat. Dengan beritikaf di masjid, kita akan mendapatkan banyak pahala salah satunya pahala menunggu datangnya waktu shalat karena itu berarti kita senang dalam beribadah.
Menggantungkan hati pada masjid. Saat di luar bulan Ramadan, banyak sekali aktivitas dan kesibukan kita yang terkadang tidak membuat kita khusuk. Untuk itu, kesempatan Ramadan ini atau pada saat I’tikaf ini adalah saat yang tepat untuk kita bisa khusyuk dan menggantungkan hati pada masjid.
Memudahkan sholat malam. Saat itikaf ini juga kesempatan untuk membangun spiritual diri yang kuat. Sehingga mudah untuk menjalankan shalat malam. Serta dengan I’tikaf, kita membiasakan hidup sederhana. Dengan I’tikaf kita terkondisikan untuk banyak beramal shalih, berinfaq dan sedekah. Sedekah atau infaq juga menjadi kewajiban kita yang memiliki kelebihan harta agar tidak berfoya-foya dan tetap sederhana. Untuk itu, menjadi kewajiban sosial yang harus dilakukan oleh mereka yang mampu. (wallahu’alam) ****