SULTENG RAYA – Sejumlah oknum masyarakat diduga melakukan pungutan liat (pungli) dengan memalak dan memalang semua kendaraan yang melintas di jalur Seba-seba, jalur penghubung antara Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, Kabupaten Morowali.
Menyunting Sangalu.com, dengan dalih perbaikan jalan, oknum tersebut dengan sewenang-wenang meminta uang dengan jumlah beragam.
Sangalu.com secara ekslusif turun memantau langsung kondisi tersebut, yang sebelumnya hanya mendengarkan informasi dari beberapa pengguna jalan yang merasa dirugikan akan aktivitas tersebut. Berdasarkan penelusuran, saat melintas di jalur itu, pengguna jalan harus membayar setiap melewati dua pos yang ada diantara jalan.
Kendaraan sepeda motor misalnya, pengendara harus mengeluarkan dana Rp30.000 ketika sekali melintas. Satu pos (pos bapak gondrong) Rp20.000 dan pos Keluarga Pong Salamba sebesar Rp10.000.
Tidak hanya sepeda motor, tapi kendaraan roda empat juga dikenakan tarif lebih besar, yakni Rp50.000 sekali melintas di pos tersebut.
Pengendara yang melintas merasa tidak keberatan jika mengeluarkan dana untuk diberikan ke pos (bapak gondrong). Sebab, pos itu merupakan kelompok masyarakat yang kerap membantu masyarakat ketika terjadi kerusakan jalan. Seperti tanah longsor dan banjir.
“Mereka menyiapkan alat berat ekskavator untuk melakukan perbaikan ruas jalan, kita merasa terbantu sebenarnya, ketimbang harus melalui jalan Trans Sulawesi yang jaraknya cukup jauh,” ujar salah seorang pengendara yang sempat ditemui awak media.
Namun, beda halnya dengan pungutan yang ada di pos Pong Salamba. Meski nominalnya lebih kecil dibanding pos lainnya, tapi peruntukan pungutan tersebut tidak diketahui arahnya. “Iya kita lewat di pos itu (pos Pong Salamba) tadi bayar Rp 10.000, katanya lahan itu punya keluarga mereka,” salah seorang pengendara.
Menurut pantauan langsung media ini, bahwa benar benar terjadi adanya pungutan kepada setiap pengendara yang melintas di jalur Seba-seba, dengan nominal yang bervariasi antara sepeda motor dan kenadaraan roda empat.
Masyarakat berharap agar Pemerintah maupun Aparat Penegak Hukum (APH) dapat menindak tegas adanya praktik pungli yang ada di jalur Seba-seba tersebut.
Aktivitas tak terpuji oknum tersebut tentu menjadi lahan basah. Betapa tidak, jika diasumsikan dalam sehari mereka menarik Rp30.000 dengan jumlah pengendara sehari yang melewati jalur tersebut sebanyak 50 orang maka dipastikan dalam sehari mereka dapat mengantongi Rp1,5 juta dan dihitung dalam 30 hari atau sebulan mereka dapat meraup hingga Rp45 juta.
Semua dilakukan dalih perbaikan jalan. Pertanyaannya, atas hak apa yang digunakan oknum masyarakat tersebut menarik rertribusi. Bukankah, dalam lahan tersebut merupakan area hutan lindung bahkan menjadi bagian dari area operasional perusahaan pertambangan.
Tentunya perlu keterlibatan aparat pemerintah dari dua Kabupaten baik Luwu Timur maupun Kabupaten Morowali. Jika dibiarkan berlarut-larut dipastikan akan menganggu masyarakat,
“Mereka menarik retribusi jalan, uang tersebut utuh masuk ke mereka tanpa dikenai pajak seperti laiknya retribusi lainnya. Harusnya aparat penegak hukum turun melakukan pemeriksaan, hasil pungli tersebut dimanfaatkan apakah benar untuk perbaikan jalan?. Karena kondisi disana hanya pengerasan dengan mereka menurunkan alat beratnya sendiri,” ujar salah seorang pengguna jalan yang enggan disebutkan namanya.
Sebelumnya diberitakan, Wakapolres Morowali Kompol Awaludin Rahman membenarkan adanya sekelompok masyarakat yang melakukan aktivitas pemalangan di jalur Seba-seba. Kelompok masyarakat (Keluarga Pong Salamba) itu mengklaim bahwa lahan tersebut merupakan lahan milik keluarga mereka.
Kompol Awaludin Rahman saat ditemui menyampaikan bahwa pihaknya telah mengambil langkah dan turun ke TKP dan bertemu dengan pihak masyarakat dan pihak perusahaan PT Vale Indonesia Tbk.
Ia juga menyampaikan bahwa Polres Morowali saat ini telah menerima laporan pengaduan dari pihak PT Vale bahwa telah terjadi pemalangan yang mengganggu aktivitas perusahaan dan terdapat juga laporan terkait pengrusakan. “Ini semua akan kami proses sesuai dengan aturan yang ada,” tambahnya.
Pria berpangkat satu melati ini mengimbau agar pihak masyarakat yang melakukan aksi pemalangan untuk juga dapat menunjukkan bukti-bukti kepemilikan, atau alas hak yang mereka miliki. “Sehingga, mereka berdasar ketika mengklaim lokasi tersebut,” imbuhnya.
Ia juga mengimbau agar pihak yang mengklaim lahan tersebut agar tidak mengganggu dan melanggar hak orang lain. “Karena jangan sampai nanti terbukti melanggar hukum, pasti akan diproses sesuai ketentuan yang ada,” pungkasnya. ***