Lebih jauh lagi, echo chamber mengikis empati. Ketika kita tidak pernah sungguh-sungguh mendengar suara yang berbeda, kita kehilangan kemampuan untuk memahami pengalaman dan penderitaan orang lain. Orang yang berbeda pandangan politik, agama, atau pilihan hidup direduksi menjadi sekadar “lawan” atau “musuh”. Nalar kemanusiaan yang seharusnya menjembatani perbedaan justru menyusut, tergantikan oleh prasangka dan kecurigaan.
Ironisnya, kondisi ini terjadi di tengah klaim bahwa era digital adalah era keterbukaan. Kita bebas mengakses informasi dari mana saja, kapan saja. Namun kebebasan itu bersifat semu. Preferensi konten yang dibatasi oleh profil algoritmik telah mengebiri kecerdasan umum. Sikap kritis melemah karena kita jarang diuji oleh gagasan yang berbeda. Inovasi dan kreativitas pun ikut tergerus, sebab kreativitas sejatinya tumbuh dari perjumpaan dengan hal-hal yang baru, asing, dan menantang.
Echo chamber secara algoritmik memaksa seseorang hanya menerima informasi searah. Ia membentuk ilusi kebenaran tunggal. Dalam jangka panjang, hal ini berbahaya bagi kehidupan demokratis dan kemanusiaan. Masyarakat yang sehat membutuhkan perbedaan pendapat, dialog terbuka, dan kemampuan untuk bersepakat dalam ketidaksetujuan. Tanpa itu, ruang publik akan dipenuhi suara keras, tetapi miskin kebijaksanaan.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pertama, kesadaran menjadi kunci. Kita perlu menyadari bahwa apa yang kita lihat di layar bukanlah cerminan utuh dari realitas. Ada mekanisme yang bekerja, ada kepentingan ekonomi dan teknologi di baliknya. Kedua, kita perlu secara sengaja keluar dari zona nyaman digital. Mencari sumber informasi yang beragam, membaca pandangan yang berbeda, dan mendengarkan suara yang tidak selalu sejalan dengan keyakinan kita.
Ketiga, literasi digital harus diperkuat. Bukan hanya soal kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga kemampuan berpikir kritis terhadap informasi. Memeriksa sumber, membedakan fakta dan opini, serta menahan diri dari reaksi emosional yang berlebihan. Keempat, empati perlu dilatih kembali. Mengingat bahwa di balik setiap akun, ada manusia dengan latar belakang, pengalaman, dan pergulatan hidup yang berbeda.
Pada akhirnya, teknologi adalah alat. Ia bisa menjadi sarana pembebasan, tetapi juga bisa menjadi belenggu. Pilihannya ada pada manusia sebagai penggunanya. Jika kita membiarkan diri larut dalam echo chamber, nalar kemanusiaan akan terus mengerdil. Namun jika kita berani membuka diri, merawat dialog, dan menjaga empati, teknologi justru bisa menjadi jembatan untuk memperkaya kemanusiaan kita bersama.Wallahu’alam bishawab. *
Penulis adalah Sekretaris PWI Sulteng, Pemerhati Etika Digital.
(Tulisan ini merupakan pandangan pribadi, tidak mencerminkan sikap organisasi)

