Puncak dari “optimisme berlebihan” ini terlihat dari drama penolakan bantuan asing. Uni Emirat Arab (UEA), sebagai negara sahabat, mengirimkan bantuan kemanusiaan berupa 30 ton beras. Namun, bantuan ini justru ditolak dengan alasan “negara masih mampu”. Bahkan, Pemerintah Kota Medan sempat mengembalikan beras tersebut.

Keputusan ini menuai kritik keras. Mengutip pemberitaan Tempo dan Detik (Desember 2025), penolakan ini membingungkan banyak pihak. Pada akhirnya, bantuan tersebut tidak jadi dibuang atau dikembalikan ke negara asal, melainkan dititipkan dan dikelola oleh Muhammadiyah untuk disalurkan.

Langkah memutar ini menolak secara negara tapi menerima lewat ormas menunjukkan ketidaksinkronan koordinasi. Jika negara mampu, mengapa rakyat masih berteriak lapar? Jika negara mampu, mengapa bantuan beras 30 ton yang sangat berarti bagi pengungsi harus menjadi polemik birokrasi? Menolak tangan yang terulur di saat rakyat tenggelam adalah bentuk arogansi yang sulit dimaafkan. Bencana adalah urusan kemanusiaan, bukan panggung untuk memamerkan kedaulatan semu.

Menutupi Dosa Ekologis?