Oleh: Umar Hannase (Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Tengah/Dosen Manajemen Bencana Universitas Muhammadiyah Palu)
Langit di atas Pulau Sumatera seakan runtuh. Dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat, jeritan sirine ambulans dan tangis kehilangan bersahutan dengan gemuruh air bah dan longsor. Bagi kami yang pernah merasakan tanah berguncang dan bumi terbelah di Palu, Sigi, dan Donggala pada 2018 silam, melihat apa yang terjadi di Sumatera saat ini bukan sekadar menonton berita. Itu adalah deja vu yang menyakitkan. Jeritan keputusasaan, air mata kehilangan, dan kebingungan di tengah reruntuhan adalah bahasa universal penderitaan yang kami pahami betul.
Namun, di tengah kehancuran yang nyata ini, terselip sebuah ironi yang menyesakkan dada, Pemerintah Pusat belum juga menetapkan status “Bencana Nasional” atas rentetan katastrofe yang melumpuhkan tiga provinsi sekaligus. Pemerintah pusat bersikukuh dengan “optimisme” birokratisnya, menolak menetapkan status Bencana Nasional, sementara lapangan menyajikan fakta yang jauh berbeda. Pertanyaannya kini: Apakah penolakan ini murni karena hitungan kapasitas negara yang optimistis, ataukah langkah politis untuk menutupi kegagalan pengelolaan ekologis?
Kontradiksi di Tengah Bencana
