SULTENG RAYA-Pemerataan pembangunan antara wilayah perkotaan dan pedesaan dinilai penting untuk menjamin kualitas hidup masyarakat serta mewujudkan pembangunan yang inklusif. Namun, ketimpangan akses terhadap lapangan kerja, pendidikan, dan layanan kesehatan masih mendorong terjadinya urbanisasi dari desa ke kota.

Fenomena tersebut menjadi perhatian Sasakawa Peace Foundation (SPF) Jepang yang menggelar lokakarya regional bertajuk “Cross-Asian Dialogue on Rural Development: Asia’s Shared Challenges and Opportunity”. Kegiatan ini berlangsung di Universitas Nalanda, Bihar, India, pada 7–11 Desember 2025.

Lokakarya tersebut bertujuan memetakan tantangan pembangunan wilayah serta berbagi praktik baik yang telah diterapkan di berbagai negara Asia. SPF berkolaborasi dengan Asian Confluence dan Musubi-Te Foundation sebagai mitra lokal di India, serta Universitas Nalanda sebagai tuan rumah.

Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan dari sejumlah negara Asia, antara lain Jepang, Thailand, Irak, Filipina, Indonesia, dan India. Indonesia diwakili oleh tiga sektor, yakni akademisi Muchamad Indrawan selaku peneliti Universitas Indonesia, perwakilan organisasi nonpemerintah Siti Kholisoh selaku Managing Director Wahid Foundation, serta Ardin sebagai perwakilan Pemerintah Daerah Kota Palu.

Dalam forum tersebut, Pemerintah Kota Palu menyampaikan pandangan mengenai pembangunan wilayah perkotaan. Meski tidak memiliki wilayah pedesaan, Kota Palu menekankan pentingnya pembangunan kelurahan sebagai unit administrasi terkecil yang berperan strategis dalam pembangunan daerah secara menyeluruh.

Ardin menyampaikan, terdapat tiga isu utama yang menjadi perhatian Pemerintah Kota Palu, yakni ketangguhan bencana, Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Inklusi, serta pengembangan program Social Solidarity Economy (SSE).

Pengalaman bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi Palu pada 2018 dijadikan pembelajaran penting untuk meningkatkan Indeks Ketahanan Daerah (IKD) dan menurunkan Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI). Upaya tersebut dilakukan melalui langkah struktural dan nonstruktural, serta diintegrasikan dalam kebijakan daerah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Palu.

Selain itu, Ardin menjelaskan bahwa pelaksanaan Musrenbang Inklusi menjadi salah satu instrumen strategis dalam menyerap aspirasi kelompok rentan. Inisiatif ini memungkinkan kelompok perempuan, penyandang disabilitas, lansia, dan kelompok marginal lainnya terlibat aktif dalam proses perencanaan pembangunan.

“Berdasarkan evaluasi pelaksanaan Musrenbang Inklusi bersama para fasilitator, diperlukan penetapan alokasi anggaran khusus untuk mengakomodasi usulan kelompok rentan. Sejak 2024, Pemerintah Kota Palu telah menyiapkan alokasi tersebut, dan pada 2026 usulan yang terakomodasi mencapai Rp1,6 miliar,” ujar Ardin.

Ia menambahkan, pemanfaatan anggaran tersebut sepenuhnya didiskusikan oleh kelompok rentan dengan pendampingan fasilitator. Pendampingan dilakukan untuk memastikan program yang dirumuskan sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat dan tujuan pembangunan inklusif.

Melalui forum regional ini, Kota Palu berbagi pengalaman mengenai pembangunan berbasis partisipasi masyarakat dan ketangguhan daerah. Meski berstatus sebagai kota tanpa wilayah pedesaan, Pemerintah Kota Palu menegaskan komitmennya untuk terus memperkuat pembangunan kelurahan sebagai fondasi pembangunan kota yang inklusif dan berkelanjutan. ABS