SULTENG RAYA-Sastrawan senior Dr. Hj. Mas’Amah Mufti, S.Pd., M.Pd kembali meraih penghargaan, kali ini dari Badan Musyawarah Adat (BMA) Sulawesi Tengah, diterima pada Hari Kamis (11/12/2025) di salah satu hotel di Kota Palu.
Penghargaan tersebut sebagai bentuk apresiasi kepada Mas’Amah yang telah memberi kontribusi secara konsisten dalam dunia Kebudayaan sastra di Sulawesi Tengah.
Penghargaan itu diterima pada pembukaan Rapat Sinkronisasi Program Pelibatan Lembaga Adat dengan Pemerintah Daerah yang dibuka oleh Gubernur Sulteng, Dr. H. Anwar Hafid, M.Si diwakili Asisten Pemerintahan dan Kesra, Dr. Fahrudin, S.Sos., M.Si sekaligus menyerahkan penghargaan kepada Mas’Amah.
Ini bukan kali pertama Mas’Amah menerima penghargaan setelah menekuni dunia Sastra selama lebih dari empat dekade. Khusus literasi saja, pensiunan guru sastra MAN 1 Palu ini telah menerima 41 piagam penghargaan lokal maupun nasional. Ia juga perna menerima penghargaan dari tiga presiden yakni dari Soeharto, KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Selama itu, mantan dosen Sastra Unisa Palu ini juga telah menghasilkan 54 judul buku, empat judul diantaranya telah beredar di Amerika Serikat. “Tahun depan, 2026, akan terbit satu judul lagi,”unggapnya, saat dihubungi media ini, Jumat (12/12/2025).
Sebenarnya kata Mas’Amah, kecintaan terhadap dunia sastra telah tumbuh sejak ia masih remaja di bangku SMA. Tulisannya kerap menghiasi Majalah Bobo, dan dari sanalah ia menumbuhkan keyakinan bahwa menulis adalah bagian dari panggilan hidupnya. Setelah hijrah dari Tanah Pasundan ke Kota Palu pada tahun 1977, ia mengabdikan diri sebagai guru sastra di madrasah, sembari terus mengasah keterampilan menulisnya.
Kegemarannya menulis tidak surut meski berpindah tanah kelahiran. Justru di tanah Kaili, semangatnya semakin berapi. Tulisan-tulisannya banyak mengisi rubrik opini di berbagai koran lokal di Palu. Ia dikenal sebagai penulis yang tajam dalam mengulas isu-isu agama, budaya, sosial kemasyarakatan, hingga politik.
Pada tahun 2010, kumpulan tulisan tersebut diterbitkan menjadi buku perdananya berjudul “Ilustrasi Politik Kancil”, yang mendapat sambutan hangat dari masyarakat pembaca. Buku ini bahkan kembali dicetak ulang pada tahun 2012 karena tingginya permintaan. Sejak saat itu, produktivitasnya kian meningkat.
Ia berpegang pada prinsip sederhana, setiap tahun harus lahir satu buku baru. Menurutnya, buku bukan semata karya ekonomi, melainkan warisan ingatan bagi anak cucu. Beberapa karyanya bahkan merupakan catatan reflektif tentang pengalaman hidup, perjalanan, dan pandangan pribadinya terhadap dunia. “Pokoknya muda berkarya, tua menuai banyak penghargaan,”ucapnya singkat. ENG