SULTENG RAYA — Ketenangan warga Desa Matolele, Kecamatan Parigi Tengah, terusik. Patok batas kawasan hutan lindung kini berdiri hanya beberapa langkah dari dapur rumah mereka. Keberadaan pal batas itu tak sekadar menjadi penanda wilayah, tetapi juga sumber kecemasan yang membayangi kehidupan mereka setiap hari.

Sebagian warga telah tinggal di lahan tersebut sejak masa orang tua bahkan kakek-nenek mereka masih hidup. Mereka telah membangun rumah dan kebun yang menjadi sumber nafkah. Namun ironis, meski sejarah keberadaan mereka telah panjang, status kepemilikan tanah justru masih terasa abu-abu.

“Bayangkan, setiap ingin memperbaiki rumah saja takut kalau-kalau dianggap melanggar batas hutan. Padahal kami sudah tinggal di sini sejak puluhan tahun lalu,” ujar salah seorang warga yang enggan disebut namanya.

Keresahan itu juga menjadi perhatian anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah dari Daerah Pemilihan Parigi Moutong, Drs. H. Suardi, yang melakukan Kunjungan Daerah Pemilihan (Kundapil) keempat masa sidang I tahun kedua 2025 di desa tersebut, Rabu (3/12/2025) lalu.

“Tapal batas berada tepat di belakang dapur warga. Mereka tidak dapat mengajukan sertifikat tanah walaupun sudah memiliki surat penyerahan tanah dari kepala desa. Situasi ini menimbulkan keresahan karena tidak ada kepastian hukum,” ujarnya.