Bahan bakar fosil, termasuk batu bara, adalah salah satu penyebab utama pemanasan global. Namun pemerintah masih mengizinkan penggunaan batu bara di kawasan industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.
“Karena itu, Aliansi Sulawesi telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung untuk meminta penghapusan pengecualian tersebut, agar penggunaan batu bara benar-benar dihilangkan dari seluruh kawasan industri,”jelasnya.
Ketua Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin mengatakan, Perpres 112 sebenarnya mengatur percepatan pembangunan energi baru terbarukan di Indonesia. Pada dasarnya, perpres ini merupakan langkah baik yang menunjukkan itikad pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembangkit listrik berbahan baku batu bara.
“Namun, dalam perjalanan membaca isi perpres secara mendalam, kami menemukan adanya pasal yang masih memberi ruang pengecualian bagi industri untuk membangun PLTU batu bara. Jadi meskipun untuk sektor domestik PLN diarahkan ke energi yang lebih bersih, industri besar tetap diperbolehkan menggunakan PLTU batu bara,”katanya.
Kata Al Amin, saat ini gugatan Aliansi Sulawesi sudah diproses, dan panitera menginformasikan bahwa seluruh berkas telah dikirim ke para pihak. Namun yang janggal, ketika gugatan sedang berjalan, pemerintah tiba-tiba membuat revisi baru terhadap Perpres 112. Dalam revisi tersebut, pemerintah justru menghapus batas tahun 2050 sebagai tenggat pembangunan PLTU. Artinya pembangunan PLTU untuk industri dapat dilakukan tanpa batas waktu.
“Dengan adanya revisi tersebut, gugatan kami di MA berpotensi dinyatakan NO (Niet Ontvankelijke Verklaard/tidak dapat diterima), karena objek gugatan berubah. Secara hukum, ini sangat merugikan upaya kami,”jelasnya.