SULTENG RAYA – Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) menyelenggarakan kegiatan Penilaian Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Taman Nasional Lore Lindu tahun 2025 di salah satu hotel di Kota Palu, Senin-Rabu (10-12/11/2025).
BBTNLL sebelumnya telah melaksanakan prakondisi evaluasi dari pengelolaan selama kurun waktu dua tahun terakhir menggunakan Tool METT Versi 4 atau Management Effectiveness Tracking Tool versi 4 untuk penilaian Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Taman Buru (TB).
Kegiatan yang dilaksanakan selama tiga hari tersebut melibatkan seluruh elemen – GIZ Forclime, Pemda Sulteng, Pemkab Sigi, Pemkab Poso, Satker Kemenhut di Sulteng, Kepala Desa yang berada dalam kawasan, tokoh-tokoh adat, dan stakeholder lainnya untuk penilaian dan pengisian dokumen yang dinilai dari Tool METT Versi 4.
Tool METT Versi 4 berisikan penilaian tentang lintas aspek untuk kelayakan pengelolaan seperti terkait perencanaan kawasan, status kawasan, status hukum kawasan, pelibatan masyarakat adat dan masyarakat lokal, sistem pelrlindungan kawasan hutan, anggaran, hingga penelitian-penelitian.
“Ini merangkum bagaimana nilai penting untuk kawasan, budaya. Pengelolaan kita lebih bervariasi, saat ini upaya melibatkan masyarakat itu lebih dominan, berbeda dari beberapa tahun sebelumnya,” kata Kepala Bidang Teknis Konservasi BBTNLL, Tasliman kepada Sulteng Raya, Selasa (11/11/2025).
Penisian lembar penilaian itu, lanjutnya, akan otomatis mengeluarkan nilai kelayakan. “Apakah kategorinya baik, atau seperti apa. Jadi semakin tinggi nilai akan semakin bagus. Nilai tertinggi 126, dua tahun sebelumnya kami dapat nilai 77,” kata Tasliman.
Sementara itu, Kepala BBTNLL, Titik Wurdiningsih dalam sambutannya mengatakan, Taman Nasional Lore Lindu memiliki kawasan seluas 214.984 hektar, dengan area terbuka (open area) sekitar 6,7 % dipantau secara intensif sebagai bagian dari upaya pelestarian.
Hingga 2025, sudah tercatat lebih dari 200-an penelitian ilmiah di kawasan ini, mencakup studi biodiversitas, ekosistem, serta dampak aktivitas manusia.
Kawasan ini berbatasan langsung dengan 72 desa penyangga di wilayah Kabupaten Sigi dan Poso, dimana BBTNLL telah melakukan intervensi di seluruh 69 desa tersebut. Intervensi berupa kegiatan bantuan usaha ekonomi produktif telah dilaksanakan di 128 kelompok diataranya 66 kelompok secara langsung oleh BBTNLL, 6 kelompok oleh Pemda Sigi, di 16 kelompok/desa oleh program EPASS, dan di 40 kelompok/desa oleh program FP III.
“Semua kegiatan ini merupakan bagian dari strategi pelibatan masyarakat dalam konservasi sekaligus penguatan ketahanan sosial-ekonomi mereka,” kata Kababes.
Penilaian Efektifitas Pengelolaan Kawasan, kata dia, menjadi langkah strategis dan sangat penting dalam rangka mengevaluasi capaian kinerja pengelolaan kawasan konservasi yang dikelola. Sejalan dengan Rencana Strategis Ditjen KSDAE 2025-2029, penilaian efektifitas pengelolaan Tool METT versi 4 menjadi tolok ukur untuk mengidentifikasi keberhasilan, kelemahan, dan area yang memerlukan perbaikan, sekaligus pijakan dalam merencanakan program pengelolaan ke depan yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Sejak tahap persiapan, BBTNLL telah melaksanakan serangkaian agenda antara lain sosialisasi METT versi 4, pengisian instrumen secara mandiri oleh tim pengelola, serta diskusi verifikasi hasil penilaian bersama peserta agar diperoleh data yang valid, objektif, dan komprehensif.
“Ini menjadi dasar penyusunan rencana tindak lanjut untuk peningkatan kualitas pengelolaan kawasan,” katanya.
PREDIKAT PENGELOLAAN EFEKTIF
Pada Rabu (12/11/2025), dilakukan penilaian efektivitas pengelolaan kawasan Taman Nasional Lore Lindu yang dilakukan dengan berpedoman pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem no.175 tahun 2025 tentang Pedoman Penilaian Efektifitas Pengelolaan KSA, KPA, TB.
Pada kesempatan itu, skor yang diperoleh dari hasil penilaian yakni 84 dari total maksimal skor 126. Pada skor perencanaan diperoleh skor 16 dari maksimal skor 21, input diperoleh nilai 13 dari maksimal skor 18.
Pada proses diperoleh skor 42 dari maksimal 60, pada output diperoleh skor 8 dari maksimal skor 15, dan terakhir pada outcome diperoleh skor 5 dari maksimal skor 12.
“Kami terus menguatkan koordinasi dan sinergi dengan pemerintah daerah serta pemangku kepentingan terkait agar perencanaan tata ruang semakin responsif terhadap perlindungan kawasan,” ujar Kababes. RHT