Biji kakao dari tanah Poso, Sulawesi Tengah resmi berlayar ke Prancis – Negeri Cokelat.
RAHMAT KURNIAWAN / SULTENG RAYA
Nama Prancis mungkin tak se-harum Swiss dan Belgia perkara cokelat ini. Namun, perusahaan sekaliber Valrhona, siapa yang tidak kenal? – entitas ini telah berdiri sejak 1922 di Tain L’Hermitage, Prancis.
Mereka punya produk tersohor bernama cokelat couverture yang dikenal pada kalangan koki pastri karena kualitasnya wahid.
Ya, perusahaan itu tertarik melakukan kerja sama dengan Koperasi Karya Bersama melalui pendampingan NGO Rainforest Alliance di Desa Pendolo, Kecamatan Pamona Selatan untuk mengambil bahan baku premium berupa biji kakao fermentasi berkualitas tinggi. Volume ekspornya tak main-main, sebanyak 2 ton dengan nilai transaksi mencapai Rp 400 juta.

Adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kantor Perwakilan Sulawesi Tengah menjadi aktor penting dibalik ekspor produk pertanian tersebut. OJK memantik, menghubungkan, dan menggerakkan semua elemen untuk berdaya-berinovasi meningkatkan nilai tambah produk petani kakao di lokasi itu.
OJK berkolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten Poso, perbankan (BRI Poso), dan stakeholder lainnya dalam bingkai sinergi Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD). Mereka berembuk, meramu potensi ekonomi lokal berbasis komoditas unggulan daerah, sehingga berhasil membuka keran ekspor itu.
OJK paham betul mereka punya tugas dan fungsi pada tingkat tapak sesuai amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yakni menjaga stabilitas sektor jasa keuangan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi daerah secara inklusif dan berkelanjutan.
“Nah, kita perlu gerakkan ekonomi hulu dulu, merangsang peningkatan permintaan modal kepada IJK, dalam hal ini memicu kredit perbankan. Tentu dibarengi dengan dukungan literasi dan inklusi keuangan. Literasi itu sosialisasi, inklusi itu bisnis matching. Petani dan pengepul akan perlu pembiayaan, kita hadir sebagai konektor,” kata Bonny.
Hari itu, ketika pagi mulai berganti siang, petani yang hadir pada seremoni pelepasan ekspor, Kamis 16 Oktober 2025 tampak sumringah. Mereka menyaksikan apa yang selama ini ditanam dan dirawat – berbuah senyum bangga karena telah go internasional.

“Kita membuktikan bahwa biji kakao Poso memiliki nilai kualitas global,” ujar Bonny, Kepala OJK Sulteng.
Kalimat Bonny tersebut lantas disambut tepuk tangan dari petani yang hadir. “Lebih dari itu, momentum ini menjadi katalis bagi kemandirian finansial petani. Kolaborasi antara regulator, pemerintah daerah, lembaga jasa keuangan, dan koperasi adalah model yang harus direplikasi,” lanjutnya.
Kata Bonny, ekspor perdana itu langsung ditindaklanjuti pada permintaan tahap II, tepatnya awal tahun 2026 mendatang dengan besaran fantastis. “Mereka kembali membuat permintaan 26,5 ton. Itu setara satu kontainer,” ucapnya.
Tak kalah bersuka cita pada kesempatan itu yakni Ketua Koperasi Karya Bersama, Bernard Ranonto. Dengan bangga, ia menyebut bahwa biji kakao fermentasi dari Poso kini telah dikenal dunia.
Jerih payah petani, kata dia, yang saban hari dengan sabar memeriksa kadar kelembaban, menjaga suhu fermentasi, menjemur biji di bawah sinar matahari, dan menunggu hasilnya – kini telah menyeberangi samudera. “Ini bukti bahwa kualitas lokal bisa bersaing global,” ungkap Bernard.
Gayung bersambut, Wakil Bupati Poso, Soeharto Kandar, ikut memberikan dukungan. Orang nomor dua di Kabupaten Poso itu menyampaikan, akselerasi yang dilakukan multi-pihak tersebut bakal memicu semangat petani kakao lokal, supaya terus menyelipkan asa menaikkan taraf ekonomi lewat hasil tani.
Pemda Poso, lanjutnya, bakal terus memberikan dukungan terhadap akselerasi yang dilakukan. Ia menilai, hal itu dapat memajukan sektor andalan Kabupaten Poso – sektor pertanian.
“Keberhasilan ini adalah hasil kerja keras petani, dukungan OJK, dan mitra global. Poso siap menjadi sentra kakao unggulan, produktif, dan melek finansial,” tutur Wabup Soeharto Kandar.
Gerak Literasi dan Memperkuat Inklusi
Di balik euphoria pengiriman perdana itu, ada pekerjaan rumah besar yakni memastikan petani siap naik kelas, baik sisi produksi maupun finansial.
OJK membaca itu untuk kemudian menggelar aksi sosialisasi peningkatan pemahaman tentang keuangan serta melakukan perjanjian kerja sama (PKS) antara IJK dan koperasi.

Bank BRI Cabang Poso dan Koperasi Karya Bersama membuat PKS untuk akses permodalan – sebuah kolaborasi yang membuka jalan mengakses pembiayaan produktif, memperkuat rantai pasok, serta menjaga mutu hasil panen. “Ini diharap ketika koperasi mengambil hasil panen petani, duit-nya tersedia, karena modal koperasi sudah mempuni,” ujar Bonny.
OJK Sulteng kemudian menggelar edukasi keuangan pada hari itu juga – kepada 300 petani, membekali mereka dengan pengetahuan tentang manajemen keuangan, akses perbankan formal, dan literasi digital. Tujuannya agar keuntungan ekspor dikelola dengan baik dan benar-benar mengalir langsung ke petani kakao.
Sebuah Tantangan Konsistensi
Sementara itu, Local Expertsekaligus Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Tadulako, Prof. Ahlis Djirimu menilai ekspor tersebut patut mendapat apresiasi. Pasalnya, Prancis punya pangsa konsumsi cokelat cukup besar. Masyarakatnya sering menjadikan coklat sebagai menu sarapan.

Ahlis menyatakan, selama ini kebutuhan kakao negara tersebut berasal dari Pantai Gading sebagai negara pemasok terbesar kakao dunia – merepresentasi 45 persen pasokan kakao dunia.
Namun demikian, semua elemen yang bersinergi perlu memperhatikan keberlangsungan ekspor kakao fermentasi dari Poso ini, terutama ihwal konsistensi dan kesiapan stok ketika permintaan datang.
“Kelemahan Sulteng selama ini terletak pada kepastian produksi. Keberhasilan ini sebaiknya diikuti oleh kesiapan dan kepastian jumlah pasokan di sisi hulu,” kata dia.
Untuk itu, Ahlis merekomendasikan multi-pihak dapat menetapkan strategi bersama dan terpadu (jangka pendek, menengah, panjang) pada hilirisasi kakao serta melakukan co-sharing pemberian asuransi lahan dan kakao. “Perlu juga meningkatkan jumlah peralatan dan mesin pengolahan petani. Ini akan meningkatkan hasil tanaman perkebunan kakao,” ucapnya.
Langkah selanjutnya yang sebaiknya dilakukan yakni aksi transformasi dari pembangunan bersifat uncorporated menjadi pembangunan incorporated. “Ini akan meningkatkan nilai tambah yang dapat mensejahterakan petani kakao di Sulteng,” ungkap Ahlis Djirimu.
Sulteng Nambaso, dari Tanah Poso
Giat ini menjadi tonggak sejarah, bahwa telah terealisasi Program Pengembangan Ekonomi Daerah (PED) dan komitmen inklusi keuangan. Ekspor perdana ini mungkin hanya langkah awal, namun dari sinilah langkah itu dimulai, mengejawantahkan asa visi “Sulteng Nambaso” Gubernur Sulteng Anwar Hafid – Sulawesi Tengah yang besar, berdaya saing, dan sejahtera.
Hadirnya OJK Sulteng dalam siklus ini bak oase, “suplemen” mencapai Sulteng Nambaso – menjadi harmoni dalam menghubungkan hulu-hilir siklus ekonomi asli dari masyarakat tingkat tapak.
Replikasi dan perhatian diperlukan semua pihak supaya aksi ini konsisten, bahkan diterapkan di daerah lain. Sektor pertanian memang harus berdaya di Sulteng, karena itu menjadi identitas masyarakat Sulteng sejak dahulu, bukan sektor ekstraktif yang notabenenya terlalu baru di daerah ini.
Kabar menggembirakannya lagi, Valrhona melalui Representative Valrhona Chocolate France, Sancie Castan menjanjikan satu brand khusus dari Desa Pendolo, yang akan menyematkan “khas Sulteng” pada salah satu merek cokelat mereka ke depan. Sebuah nilai tambah atas dedikasi petani menghasilkan biji kakao berkualitas. ***




